Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Apa yang bisa disimpulkan dari kondisi sinetron Indonesia saat ini? Memprihatinkan! Ya, Kata “memprihatinkan” rasanya tepat digunakan untuk mewakili rentetan ungkapan “kegelisahan” lain yang kurang lebih sama maknanya, seperti “menyedihkan”, “keterlaluan”, “mengerikan”, “merusak”, “tidak mendidik”, “tidak kreatif’, atau bahkan “kurang ajar”. Separah itukah sinetron kita? Diakui atau tidak, memang demikian adanya. Tentu saja pernyataan umum ini harus terlebih dahulu mengabaikan beberapa gelintir sinetron bermutu yang pernah tampil di layar kaca, sebutlah Kiamat Sudah Dekat, Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, Bajaj Bajuri, Jendela Rumah Kita, Sayekti-Hanafi, Rumah Masa Depan, Losmen, Sartika, dan beberapa judul lain yang bisa dihitung dengan jari.

Selain judul-judul di atas, serbuan sinetron di hampir semua stasiun televisi swasta Indonesia tidak beranjak dari tayangan yang menjual mimpi, konflik, kekerasan, mistik, skandal, selingkuh, rebutan harta, kekuasaan, termasuk rebutan pacar. Sinetron Indonesia jarang bercerita soal perjuangan, kerja keras, etos belajar, kesetiakawanan, toleransi, dan nilai-nilai positif kehidupan sehari-hari. Setinggnya pun disajikan monoton, tak jauh dari ngobrol di meja makan, jalan-jalan dan pacaran di mall, menyetir mobil, berkomunikasi lewat handphone, suasana dugem di diskotik dan café-café. Kapan belajar, kerja, beramal, beribadah, berprestasi, dan etos-etos positif lainnya, tak pernah digagas.

Lihatlah gambaran yang sangat akrab di mata pemirsa televisi: Tokoh-tokoh yang cantik dan tampan selalu muncul dengan rumah mewah, mobil bagus, baju berganti-ganti, dan segala sesuatu yang serba “glamor”, mencitrakan gaya hidup hedonis, khas kaum kelas atas (borjuis). Anehnya, tak pernah dijelaskan atau digambarkan bagaimana tokoh-tokoh tersebut berkerja dan berusaha mencapai tingkat kehidupan yang sedemikian sukses. Dalam cerita sinetron, semua disajikan serba instan, tak perlu ada penggambaran proses perjuangan hidup yang nyata dan jerih payah apapun. Jika ada, perubahan hidup ditampilkan secara tidak wajar, adakalanya melibatkan aspek kebetulan yang berlebihan disertai mitos-mitos khayali (delusion).

Belum lagi, kekerasan—dengan segala bentuk dan cara—ditempuh untuk mencapai tujuan. Sikap-sikap keseharian yang ditampilkan juga jauh dari kewajaran, misalnya tokoh antagonis yang ditampilkan dengan senyum menyeringai, sering marah-marah sampai matanya mendelik, gigi gemerutuk atau mengerat kaku, seolah menghasut publik akan eksistensi manusia jahat dalam bentuk ekspresi ekstrim. Tak ketinggalan, potret anak kecil yang ditampilkan punya sifat dendam berlebihan—tidak masuk akal untuk anak seusianya— dengan melakukan siksaan atau makian kepada orang lain yang dianggap musuh. Sinetron-sinetron remaja yang berlatar sekolah dan kampus pun sama sekali tidak bernuansa akademis karena yang ditampilkan juga hanya urusan pacaran, percintaan naif, kehidupan malam, transaksi narkoba, penunjukan kekuatan super, kehidupan dugem, pakaian-pakaian seksi, dan remeh temeh banalitas kehidupan lainnya.

Dalam perspektif lain, bisa jadi memang begitulah cerminan selera (rendah) penonton sinetron kita. Paling tidak, asumsi ini menunjukkan, tayangan yang ingin ditonton justru sesuatu yang berada di luar keseharian mereka. Sesuatu yang berada di awang-awang, terbenam dalam ranah khayali yang membebaskan dari kondisi tertekan berbagai persoalan hidup sehari-hari, terutama kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik di tengah lilitan tuntutan kebutuhan hidup terus yang mencekik. Logika sederhananya, kehadiran sinetron penjual mimpilah yang bisa menjadi placebo, obat sementara untuk melupakan rasa muak atas kondisi kehidupan yang morat-marit. Jika benar demikian, inilah akar persoalan dan pemahaman yang paling berbahaya. Ibarat pembunuhan berencana, secara perlahan-lahan pemirsa disuguhi racun, sementara televisi menuai madunya. Melalui penayangan sinetron “sampah” semacam ini, seolah ada upaya untuk membiarkan masyarkat “hanyut” dalam kehidupan bawah sadar, utopis, dan terjebak dalam angan-angan semu, sebagaimana yang diungkapkan Prisgunanto (2004: 241), mereka diajak untuk berada dalam wilayah antah berantah, di bawah indahnya awan biru, tempat bunga-bunga bermekaran, burung-burung bernyanyi, semua hidup tenang dan serba berkecukupan.

Dalam posisi demikian, sulit diharapkan media menjadi bagian dari pembentuk karakter bangsa yang sehat karena institusi media lebih memilih—meminjam istilah Ashadi Siregar—semata-mata menjadi pemasok industri kultural. Dalam industri kultural, produk yang diciptakan selalu berorientasi pada pada konsumsi massa. Proses produksinya senantiasa mempertimbangkan kepentingan material (modal-uang) dan hiburan (kesenangan). Tester (1994: 40) menyindir kondisi itu sebagai komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena berdampak serius pada kualitas hidup manusia.

Berangkat dari keprihatian itulah, tulisan ini mencoba memaparkan telaah kritis kondisi sinetron di tanah air. Snapshot pemetaan persoalan didasarkan pada beberapa fenomena terakhir yang menonjol, khususnya terkait aspek rendahnya kreativitas dan mutu sinteron sebagai sebuah karya seni yang seharusnya tidak hanya menjadi tontonan (hiburan), tetapi juga sekaligus menjadi tuntunan (sarana edukasi). Terakhir, penulis memberi tawaran alternatif bagi penonton televisi dalam menyikapi maraknya sinetron secara proporsional melalui pendekatan literasi media, yang memposisikan penonton tidak hanya sebagai penikmat pasif sinetron, melainkan sebagai penonton yang cerdas dan aktif mengkritisi berbagai bentuk tayangan di media massa.

Sinetron, Dibenci namun Dinanti

Sinetron atau sinema elektronik menjadi primadona hiburan masyarakat sejak kondisi perfilman nasional mengalami ketepurukan pada dekade 1990-an. Seiring booming industri pertelevisian dan menjamurnya era selebriti instan bentukan televisi, sinetron merajai program layar kaca. Pengertian sinetron sendiri, jika ditilik dari konsep yang sederhana bisa didefinisikan sebagai sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh pengarang dan penulis skenario Arswendo Atmowiloto. Jadi, penyebutan “sinetron” sesungguhnya khas istilah Indonesia karena dalam bahasa Inggris, sinetron disebut opera sabun (soap opera), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela.

Dalam perkembangannya, format sinetron pun beragam, dari sinetron serial, sinetron seri, sinetron lepas, sinetron miniseri, hingga film televisi (misalnya FTV yang populer di SCTV atau I-Sinema yang dipopulerkan ANTV). Genre sinetron berkembang dari drama, keluarga, komedi, laga, misteri, kolosal, dan sebagainya. Robert Kolker (2002: 214) membedakan secara tegas antara film (baca: sinetron) seri dengan film serial. Ia menyebut serial sebagai programs with an open narrative line that continues from one episode to another like soap operas, sementara seri adalah programs with a continuing set of characters in somewhat different narrative situations in each episode like situation comedies (Kolker, 2002: 214). Dengan demikian cerita sinetron serial berkelanjutan dari satu episode ke episode berikutnya, sementara cerita sinetron seri berbeda tema setiap episodenya meski memunculkan karakter yang sama. Contoh sinetron seri adalah komedi situasi. Sinetron serial dalam pandangan Kolker juga disebut opera sabun karena kerap menampilkan cerita kehidupan melodrama, rumah tangga yang tidak bahagia, seperti istri yang tertekan, dan berbagai potret rutinitas domestik perempuan lainnya (Kolker, 2002: 214).

Segmen psikografis penonton sinetron tersebar dari anak-anak, dewasa sampai orang tua. Dari segmen geografis menyebar dari wilayah pedesaan sampai perkotaan. Menurut survei terakhir yang pernah dilakukan oleh beberapa lembaga survei dan litbang internal televisi swasta, remaja adalah konsumen yang paling banyak menonton sinetron, di samping kalangan ibu rumah tangga (Wirodono, 2005). Fenomena ini tidak mengherankan mengingat dua kategori penonton tersebut paling banyak menghabiskan waktu luang di depan televisi.[2]

Motif remaja menonton sinetron umumnya dilandasi rasa ingin tahu, mengisi waktu luang, menghilangkan kebosanan, belajar sesuatu (gaya hidup, berpakaian, berbahasa, sampai gaya pacaran), dan yang paling pokok, dorongan menonton sinetron bagi mereka adalah mengikuti tren. Jika sudah menyangkut urusan “gaul”, “tren”, dan “lifestyle”, tentu remaja dengan segala pernak-pernik perilakunya menjadi objek dan sasaran empuk industri, termasuk produsen berbagai produk yang menjajakan barang jualannya lewat iklan. Berbagai motif, baik dari penonton maupun pengiklan ini bagi pemilik media tentu menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.

Di satu sisi, merujuk pada pemaparan Mosco tentang kajian ekonomi politik media, media massa kini melakukan komodifikasi dengan melakukan serangkaian proses produksi isi media berdasarkan kepentingan pasar (Mosco, 1995: 140-212). Seperti halnya barang dagangan, pengelolaan media sarat akan nilai-nilai ekonomis yang berkiblat pada angka rating, efisiensi dan efektivitas produksi, tiras media dan pemfokusan target konsumen potensial. Produk media diarahkan untuk menarik perhatian audiens dalam jumlah besar. Dalam kaitan ini, sejak lama Chesney mengkritik praktik ini dengan mengatakan bahwa media sekarang menjadikan dirinya sebagai pelayan kepentingan dan kebutuhan pasar daripada kepentingan publik (Chesney, 1998). Penegasan ini tidaklah berlebihan mengingat orientasi produk media hampir semuanya cenderung memenuhi keinginan konsumen dan pemasang iklan.

Di Indonesia, sejak keterbukaan informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme; terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating itulah yang akan menentukan nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun dengan harga yang tinggi. Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin pengiklan.

Bagi televisi, “kualitas” sinetron diukur dari angka rating dan share yang pada akhirnya memengaruhi perolehan iklan. Akibatnya televisi hanya berkiblat pada rating dan share yang menentukan layak tidaknya suatu program acara yang akan ditayangkan, termasuk dalam hal ini sinetron. Rating menjadi kekuatan hegemonik yang menetukan definisi selera audiens, mutu sinetron, serta menetukan keputusan dan strategi televisi.[3] Baik-buruk atau nilai-nilai kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar pertimbangan rating. Kalaupun ada cerita tayangan dihentikan oleh pengelola televisi, itupun setelah ada keberatan dari masyarakat. Dalam beberapa kasus, bahkan pihak televisi atau production house (PH) mau mendengarnya karena tidak ada pilihan lain. Pihak televisi seolah selalu punya argumena bahwa apa yang mereka tawarkan adalah semata-mata hiburan. Konsep hiburan (entertainment) bagi industri televisi sebagai bahan jualan utama memang tidak bisa dibantah karena secara mendasar, media hiburan memiliki formula yang ampuh untuk menarik dan mempertahankan perhatian audiens (Potter, 2001: 113).

Minim Kreativitas, Menjual Kenaifan

Praktik-praktik industri sinetron Indonesia, jika ditilik di luar konteks makro, yakni dari aspek internal produksi dan kebijakan pengelola televisi sendiri, menunjukkan beberapa “penyakit” yang kontraproduktif bagi sebuah karya seni. Ironisnya, praktk-praktik ini justru mewabah. Jika dirunut sederhana, penyakit itu antara lain tampak dari hal-hal sebagai berikut:

a. Epigon (mengekor)

Ketika sebuah sinetron dengan tema tertentu laku, maka yang lain berlomba-lomba menjadi pengekor. Budiasih mengistilahkan kebiasaan pengelola televisi dan production house ini sebagai “perilaku pedagang”. Ketika sebuah warung menjual menu baru dan laris, maka warung yang lain akan ikut-ikutan menjual menu yang sama (Budiasih, 2005: 111).

Paling tidak sejarah pertelevisian Indoneia pernah mencatat beberapa fenomena epigon ini: Pertama sinetron kolosal laga (Misteri Gunung Merapi yang diikuti sinetron sejenis lainnya, seperti Anglingdarma, Dendam Nyi Pelet, dsb). Kedua, Sinetron Religius (Mislanya Rahasia Ilahi dikuti Hidayah, Astagfirullah, Astagfirullah, Azab IIahi, Iman, Insyaf, Takdir, Jalan ke Surga, Kehendak-Mu, dsb). Ketiga, sinetron dengan nafas Betawi (Si Doel Anak Sekolahan diikuti oleh sinetron Rumah Tangga Ruwet/RTRW, Sarana Angkutan Rakyat/SAR, sampai generasi Gengsi Gede-Gedean, Samson Betawi, dll.). Keempat, sinetron yang mengumbar humor-humor jorok dan eksploitasi tubuh perempuan (Nah ini Dia, Komedi Tengah Malam,Tarzan X, dsb). Kelima, sinetron mistik, misalnya Nyi Roro Kidul,Mandala dari Sungai Ular, Roro Mendut, Pengantin Lembah Hantu,Misteri Siluman Kelabang, Santet, dsb. Dalam kemasan komedi dan drama: Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul, Mr Dower, Jadi Pocong, Ketawa Tengah Malam, Jinny oh Jinny, Di Sini Ada Setan, Zahara Hantu Gaul, Jaelangkung, Kolor Ijo, Kisah Cinta Hantu Cantik, dan sebagainya. Keenam, Fenomena terbaru adalah sinetron remaja yang bermula dari kesuksesan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Setelah film tersebut sukses, nyaris semua statisun televisi memiliki sinetron berisi cerita remaja berseragam sekolah. SCTV dan Trans TV adalah stasiun televisi yang tercatat paling banyak menayangkan sinetron bergenre remaja ini.

b. Jiplakan

Penjiplakan pada ranah kreativitas dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) adalah tindakan paling memalukan. Namun hal itu sepertinya terus mewarnai sinetron Indonesia. Jiplakan ini kadaranya bertingkat, dari sekadar terpengaruh (influenced), contek-menyontek ide, adaptasi judul, sampai pada penjiplakan skenario yang nyaris utuh. Beberapa catatan sejarah sinetron yang diduga merupkan jiplakan atau setidaknya sangat dipengaruhi versi asli antara lain Siapa Takut jatuh Cinta (Meteor Garden), So What Gitu Loh (Friends), Harry Potret (Hary Potter), Jinny oh Jinny (Dream of Jeanny), Candy (Kartun Candy-Candy) Mandragede (Renegade), dan berbagai judul sinetron lain yang diindikasi menjiplak serial Korea dan dorama Jepang, sebutlah  Benar-Benar Cinta, Benci Bilang Cinta, Buku Harian Nayla, Cincin, Cinta Remaja, dan Pengantin Remaja. Perilaku produksi sinetron yang menjiplak ini, selain dipengaruhi minimnya daya kreativitas Production House, Tim Produksi Sinetron Televisi, atau gabungan keduanya, juga diperkuat oleh mayoritas sikap penonton yang kurang kritis.

c. Episode yang dipanjang-panjangkan

Malin Kundang produksi MD Entertainment yang ditayangkan SCTV adalah salah satu contoh episode sinetron yang sangat panjang karena alur ceritanya diulur-ulur. Penonton serial ini dipaksa untuk terus menunggu, sampai kapan Malin Kundang versi modern ini akhirnya dikutuk jadi batu oleh ibunya, yang menandakan ceritanya berakhir, atau setidaknya mendekati klimaks? Alih-alih ceritanya berkembang, yang ada sinetron yang pernah memperoleh predikat Sinetron Paling Ngetop SCTV ini justru menambah karakter serta konflik baru yang semakin melenceng dari ruh utama cerita. Cincin, Cinderella, Liontin, adalah sedikit daftar dari banyak judul sinetron lain yang tergolong dipaksakan “panjang umur”.

d. Sekuel yang dipaksakan berlanjut

Jika ada legenda tentang sinetron bersekuel terbanyak di Indonesia, niscaya Tersanjung layak menjadi juara. Sampai dengan tahun 2006, menurut data yang ada, sinetron Indonesia terpanjang adalah sinetron Tersanjung yang mencapi 8 sekuel. Sinetron garapan Multivision Plus ini mencapai 356 episode, dengan masa tayang 6 tahun 11 bulan (www.wikipedia.org). Kondisi seperti ini, selain menunjukkan kerawanan repetisi cerita yang diangkat, juga mengindikasikan lemahnya proses penciptaan inovasi baru bagi pekerja sinetron dan pengelola televisi. Si Doel Anak Sekolahan yang dibuat menjadi beberapa sekuel juga menunjukkan penurunan kualitas. Apalagi jika dilihat dari perhatian dan minat masyarakat, bahkan sampai pada metamorfosis Si Doel Anak Gedongan, sinetron ini tak jua mampu menunjukkan geregetnya. Sihir ajaib yang mampu menyedot perhatian publik pada sekuel perdana, ternyata menguap begitu saja.

e. Skenario monoton, adopsi mentah dari luar

Cerita hantu-hantuan, ibu peri, pensil ajaib, tongkat sakti, putri duyung, dan mistifikasi konyol lainnya merupakan hal yang tidak lazim dalam budaya keseharian masyarakat Indonesia. Ironisnya cerita-cerita tersebut terus-menerus diangkat menjadi tema sinetron. Jika ditelusuri ternyata sinetron demikian merupakan adopsi mentah-mentah skenario sinetron dari luar negeri yang notabene konteks budaya, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya berbeda. Skenario sinetron yang konon oleh “Raja-raja sinetron Indonesia” dibeli dari India, Korea, Jepang, Meksiko, atau Taiwan tersebut kemudian dibuat versi Indonesia, dengan tentu saja terlebih dahulu mengubah nama tokoh dan tempat kejadian cerita. Alur cerita dan tema diadopsi begitu saja tanpa banyak penyesuaian. Sekali lagi, meski barangkali legal pada tataran HAKI karena melalui pembelian hak cipta skenario, namun kerativitas menjadi hal yang paling dipertanyakan. Sinetron Bidadari (RCTI) yang kerap menghadirkan pertolongan ibu peri bagi gadis kecil yang disiksa ibu tirinya adalah salah contoh di antaranya.

f. Menjual wajah tampan/cantik

Seolah ada logika minor yang terbangun dalam industri sinetron di tanah air bahwa kehadiran bintang yang terkenal akan menjadi nilai jual utama sebuah sinetron. Walhasil sinetron Indonesia dipenuhi wajah-wajah cantik dan tampan artis dan aktor populer, sementara aktingnya tidak berkembang. Logika ini dalam praktiknya ternyata tidak selalu benar. Bahkan tren terbaru menunjukkan, bukan soal urusan popularitas, namun wajah-wajah baru (yang tampan dan cantik) justru menjadi faktor determinan. Pihak pembuat sinetron tampaknya mafhum bahwa popularitas adalah ekses dari kesuksesan sinetron itu sendiri. PH dan stasiun televisi mencari wajah-wajah segar untuk diorbitkan menjadi bintang baru lewat sinetron. Sehingga seolah ada rumus di kalangan artis bahwa bernain sinetron tidak menjanjikan waktu yang lama sebagai sebuah karir. Artis sinetron yang mulai tidak laku di dunia sinetron berlomba–lomba beralih profesi lain, misalnya menjadi penyanyi karena mereka sadar banyak artis-artis pendatang baru yang menunggu di belakang mereka. Sekadar catatan, banyak nama artis yang sebelumnya tidak populer, bahkan tidak ditujukan sebagai daya tarik utama, tapi justru menjadi populer dan ngetop karena sinetron yang dibintanginya, sebutlah Mandra (pemeran Mandra dalam Si Doel Anak Sekolahan), Sakurta Ginting (pemeran Kipli Kiamat Sudah Dekat), Mat Solar (pemeran Bajuri dalam Bajaj Bajuri), dll.

g. Berkedok religius, meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan

Sinetron religius awalnya berangkat dari kritik atas sinetron hantu-hantuan, terutama yang disiarkan pada bulan Ramadhan. Tayangan sinetron religius seperti ini misalnya diwakili judul Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Astagfirullah, Azab IIahi, Iman, Insyaf, Takdir, Jalan ke Surga, Kehendak-Mu, atau sederet panjang judul lainnya. Namun tayangan seperti ini juga tak pelak memunculkan kritik karena beberapa materi sinetron religius justru kebablasan. Tidak sedikit tayangan religius di beberapa stasiun televisi yang justru dapat dikategorikan cerita misteri yang berbau mistik, cerita bohong, dan menyesatkan.

Sekadar ilustrasi, kalangan agamawan mempertanyakan bagaimana gambaran setan diperlihatkan seolah-olah adalah benar, padahal setan merupakan mahluk gaib, sehingga hanya Tuhan yang tahu sosoknya. Penggambaran arwah (manusia) berganti wujud dalam bentuk mahluk yang menakutkan dan menyeramkan, dinilai pula sebagai suatu kebohongan. Memang sebelum maupun sesudah penayangan sinetron tersebut selalu diawali dengan kata pengantar atau diakhiri dengan pesan yang dikutip dari ayat-ayat kitab suci yang disampaikan oleh para ustad terkemuka, namun pemirsa (yang tingkat literasi media dan pemahaman agamanya belum cukup memadai) umumnya lebih terkesan pada visualisasinya, bukan dalil-dalil dan tuntunan syariatnya. Bentuk kekahwatiran itu misalnya bisa saja pemirsa akan menyimpulkan bahwa arwah orang yang sudah meninggal dunia, yang semasa hidupnya banyak berbuat maksiat, akan berubah menjadi mahluk menakutkan sebagaimana ditampilkan dalam sinetron religius.[4]

Fenomena komodifikasi agama yang senantiasa dilakukan oleh media massa, tanpa disadari menyebabkan peran agama mengalami kemunduran. Tesis ini tidaklah berlebihan mengingat agama bukan lagi ditempatkan sebagai norma bermakna yang mengatur sendi kehidupan manusia, tetapi justru dipinjam sebagai sarana meraup profit sebanyak-banyaknya. Kemunduran agama dalam konteks ini bukan pada kuantitas, melainkan justru pada hal yang pokok, kualitas. Penempatan nilai agama telah mengalami pergeseran. Religiusitas yang diciptakan oleh agama, menjadi religiusitas semu dan tanpa makna. Media kapitas yang merupakan produk turunan dari industrialisasi dan globalisasi, disadari atau tidak, ikut andil terhadap pergeseran nilai-nilai agama. Paling tidak membawa misi sekularisasi (Suciati, 2005).

h. Memaksakan lagu hits menjadi tema/daya tarik sinetron sinetron

Sejak zaman Dongeng Dangdut (TPI) garapan Dedi Setiadi pada pertengahan tahun 1990-an, rasanya belum ada sinetron yang diangkat dari sebuah lagu menunjukkan kualitas yang memadai, dilihat dari segi pengembangan skenario. Ironisnya sekarang, begitu ada lagu yang menjadi hits, sontak televisi berlomba-lomba menjadikannya sebagai tema sinetron, paling tidak dijadikan soundtracknya. Kadang lagu penyanyi/grup band yang baru merilis album singlenya juga dijadikan sebagai tema atau soundtrack sinetron. Ungu, Padi, Sheila on 7, Dewa, Radja, dan Ada Band, adalah nama-nama grup band yang lagu-lagunya tercatat pernah dijadikan sebagai tema cerita sinetron. Pada beberapa kasus lain, ada juga sinetron yang seolah berisi daftar lagu karena latar belakang musiknya hanya mencomot lagu-lagu hits kemudian dijalin menjadi sebuh cerita, atau sebaliknya setiap kejadian dicari lagu yang liriknya kurang lebih sama dengan jalan cerita. Lihat misalnya sinetron Cerita Cinta (Indosiar) yang pernah ngetop pada tahun 2001. Kekonyolan berikutnya, antara lagu dan tema sinetronnya bahkan tidak memiliki keterkaitan. Sinetron Eneng (RCTI) misalnya, yang ditujukan untuk segmen anak-anak mengambil lagu dangdut Kucing Garong yang liriknya bahkan kurang layak didengar atau dinyanikan anak-anak.

i. Banyaknya hal-hal klise ditampilkan

Banyak hal-hal klise ditampilkan dalam sinetron kita. Cobaklah tengok, hampir setiap pembantu dalam sinetron namanya Iyem. Lihatlah menu dalam meja makan. Di sana pasti ditampilkan ada sajian buah-buahan. Selain ingin menunjukkan status sosial yang tinggi, buah yang ditampilkan pun buah dari negeri lain, seperti apel merah, anggur, sunkis, atau pisang yang semuanya meruapkan buah-buahan impor. Jarang sinetron Indonesia yang menampilkan buah-buahan khas Indonesia, seperti kedondong, nangka, duku, rambutan, salak, dan sebagainya. Selain hal remeh-temeh tersebut, cerita yang diangkat tak jauh-jauh dari kisah si kaya dan si miskin, upik abu, serta pangeran tampan.

j. Jam tayang yang cenderung seragam

Cobalah nyalakan televisi Anda pada jam-jam 18.00 sampai 21.00 malam. Nyaris semua stasiun televisi menampilkan acara sinetron dengan berbagai macam genre (METRO TV, TVRI, TV lokal, dan siaran televisi kabel menjadi pengecualian). Waktu tersebut dalam industri pertelevisian menjadi waktu paling penting (prime time). Menurut Nielsen Media Research (NMR), prime time adalah waktu semua orang sudah pulang ke rumah dan menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time dipercaya akan menghasilkan rating yang lebih tinggi daripada waktu lain. Pemahaman ini membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi mahal harganya. digunakan televisi untuk menayangkan sinetron-sinetron yang isinya kurang lebih sama. Keseragaman ini bergeser lebih awal pada momen-momen tertentu, misalnya bulan Ramadhan. Seolah publik yang ingin mencari alternatif selain menyaksikan sinetron tidak diberi kesempatan. Hak publik untuk memperoleh keragaman materi tayangan televisi (diversity of content) pada jam-jam tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun televisi.

k. Menampilkan unsur SARA

Meskipun Suku, Agama, Ras dan Antaagolongan (SARA) menjadi persoalan yang paling sensitif dalam keseharian masyarakat Indonesia, namun dalam sinetron ternyata hal itu sering diabaikan. Seorang pemerhati sinetron menulis sebuah surat pembaca di Harian KOMPAS (http://www.kompas. com/kompas- cetak/0707/ 22/surat/ 3701586.htm). Intinya ia keberatan dengan sinetron yang banyak menampilkan tokoh protagonis Islam dihadapkan dengan tokoh antagonis yang disimbolkan dengan mirip dengan budaya Bali atau sosok Hindu. Salah satu contoh adalah sinetron Takdir, “Dimas Anak Ajaib”, yang ditayangkan Indosiar pada Rabu, 27 Juni 2007. Entah apa yang ada di benak pembuat sinetron. Sinetron ini menceritakan anak ajaib, entah dari mana dapatnya dan apa gunanya. Diceritakan pula karakter yang ditokohkan sebagai dukun jahat. Sangat disayangkan, si pembuat sinetron menampilkan rumah dukun ini berlatar belakang budaya Bali. Ada Barong Bali, lukisan penari Bali, patung-patung Bali, sesajian, dan sebagainya. Adegan itu kelihatan sepele, tetapi sungguh serius. Sinetron-sinetron yang bercerita dukun atau tokoh jahat umumnya dikonotasikan dengan segala sesuatu yang tradisional. Sinetron seperti ini sangat mengusik untuk perkembangan budaya bangsa.

Persoalan yang lebih serius pernah menimpa Indosiar yang menampilkan sinetron Anglingdarma dengan cerita yang dinilai melecehkan umat Hindu. Karena tergolong serius, Indosiar menghentikan sementara sinetron tersebut, meminta Production Housenya, PT Genta Buana untuk mengubah skenario, mengganti alur cerita, dan menampilkan episode baru yang sama sekali berbeda dari cerita sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi pada cerita sinetron Habibi dan Habibah (TransTV) yang menggunakan nama Hasan dan Husain sebagai tokoh jahat. Publik muslim yang merasa keberatan, melakukan gugatan terhadap stasiun televisi yang menayangkan sinetron tersebut karena dinilai melecehkan martabat cucu Nabi Muhammad yang berarti pula melecehkan Islam.

Daftar di atas hanyalah bebrapa persoalan yang mengemuka. Di luar pemaparan di atas masih banyak kenaifan lain dalam industri sinetron Indonesia yang bisa ditambahkan, sebutlah misalnya Jakartasentris, bias gender, stereotipe yang berlebihan, iklan yang mendominasi durasi tayang, mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi tubuh perempuan, kekerasan, sadistis, mistik, dan sebagainya.

Sekilas tentang Dampak Negatif Sinetron

Dampak sinetron terhadap penontonnya merupakan suatu bahasan yang kompleks karena menyangkut banyak aspek yang berperan, baik dari sisi audiens maupun penyampai pesan (medianya). McQuail (2000: 423) membedakan dampak media ke dalam tingkatan (i) individu, (ii) kelompok atau organisasi, (iii) institusi sosial, (iv) keseluruhan masyarakat, dan (v) budaya. Lebih lanjut, McQuail membedakan jenis-jenis perubahan yang dipengaruhi media sebagai berikut: (i) media menyebabkan perubahan yang disengaja, (ii) media dapat menyebabkan perubahan yang tidak disengaja, (iii) media dapat menyebabkan perubahan minor (bentuk atau intensitas), (iv) media dapat memfasilitasi perubahan (sengaja ataupun tidak), (v) memperkuat yang sudah ada (tanpa perubahan), dan (vi) mencegah perubahan. Selain itu, dampak media juga dapat dibedakan ke dalam dampak yang bersifat kognitif, afektif, dan perilaku (McQuail, 2000: 424). Meski kontroversi efek media terus saja berlanjut dan berkembang namun publik cenderung mengecam efek negatif media daripada efek positifnya bagi masyarakat.[5]

Efek media yang bersifat negatif menjadi logis dalam kehidupan masyarakat modern karena peran televisi yang telah sedemikian dekat dalam keluarga. Artinya, televisi merupakan rujukan atau secara spasial menjadi tempat berkumpul anggota keluarga. Televisi juga ditempatkan dalam ruang-ruang strategis, seperti ruang tamu, kamar tidur, ruang tunggu dalam institusi publik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritisisme terhadap rangkaian program siaran televisi mutlak diperlukan. Terlebih, ketika televisi telah menjadi ‘orang tua pengganti’ (surrogate parent) dan ‘guru pengganti’ (substitute teacher), yang menimbulkan kekhawatiran dan sekaligus keprihatinan (Ashadi Siregar, 2001: 78).

Ironisnya, akses pemirsa, terutama remaja dan anak-anak terhadap sinetron tersebut sangat mudah, seolah tanpa filter. Inilah yang menjadikan posisi televisi sebagai salah satu anggota “keluarga” dalam rumah yang notabene paling berbahaya. Disadari atau tidak perilaku-perilaku negatif, seperti perzinaan, kekerasan, bahkan kriminal sedikit banyak juga diajarkan oleh televisi yang hadir di tengah-tengah kehidupan keluarga. Oangtua, meskipun sudah mengendus kehadiran tamu berbahaya ini, bukannya mengusir, malah menunggu-nunggu kehadirannya. Fungsi pendampingan yang seharusnya diterapkan pada anak-anaknya tidak pernah dilakukan karena tak jarang mereka sendiri juga tidak menyadari bahayanya.

Hoijer (2000: 189) menyatakan bahwa “television is the most popular story teller in modern time”, dalam konteks ini, ungkap Hoijer, “television mediates reality and imagination.” Oleh karena kehadirannya dalam keluarga menjadi sesuatu yang seolah-seolah sebuah keharusan, mengingat televisi kini telah menjadi semacam standard bagi kehidupan keluarga. Walau demikian televisi tetaplah “orang asing” yang tidak mengerti kebutuhan para anggota keluarga dengan memberikan pesan yang disukai tetapi bukan pesan yang diperlukan.

Kembali pada soal efek sinetron, tulisan ini hanya akan membahas dampak sinetron yang berlangsung pada level individu yang dapat terjadi dalam berbagai tingkatan, mulai dari kognitif, attitude dan behavior (Potter, 2001: 268). Pada tataran kognitif, sinetron menciptakan efek learning agenda, yaitu menyebabkan munculnya trend tertentu. Penonton seakan didekte: sinetron apa saja yang harus mereka tonton, artis-aktor mana saja yang harus difavoritkan, bahkan lagu yang harus didengarkan karena menjadi tema atau soudtrack sinetron. Fenomena ini terjadi karena hampir seluruh televisi mengiklankan sinetron yang akan ditayangkan dengan cara jualan yang secara seragam. Sinetron di televisi umumnya selalu dikemas dengan sangat menarik. Cuplikan yang bertubi-tubi dengan bintang sinetron yang populer menjadikan penonton sangat menyukainya. Pengelola stasiun televisi dan PH tahu betul bagaimana memanfaatkan kondisi mereka yang masih lemah daya kritisnya. Penggemar sinetron tidak selalu mengetahui bagaimana efek media dapat mempengaruhi dirinya. Serbuan sinetron yang terus-menerus selama kurun waktu tertentu menurut cultivation theory misalnya, akan memperkuat pengaruh tersebut karena proses internalisasi terjadi lewat proses belajar dari apa yang diindera dari tayangan sinetron. Penggemar sinetron seolah merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga ketika tertinggal satu episode cerita.

Pada level attitude, media melakukan reinforcement kepada masyarakat terkait dengan kehidupan ala sinetron. Melalui iklan-iklan yang ditampilkan di sela-sela penayangan sinetron, mampu membius dan mempengaruhi sikap bahkan tindak pembelian produk-produk tertentu. Dalam konteks ini sinetron seringkali dituduh bersekongkol dengan kapitalis dalam melakukan manipulasi informasi produk jika saja kualitas produk yang diiklankan tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan melalui iklan tersebut media mampu menjadi agen sosialisasi yang cukup penting saat ini. Betapa tidak, banyak makna yang telah berubah di masyarakat terkait dengan “cantik”, “sukses”, “keren”, dsb. Tanda-tanda lebih lanjut bahwa mereka sudah terpengaruh dari sinetron terlihat ketika mereka melakukan peniruan atau imitasi dari apa yang mereka tonton, mulai dari empati sampai penghayatan atas cerita yang berlebihan, seolah mereka lupa bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.

Sebagai contoh efek sinetron pada perubahan sikap ini adalah sinetron berkedok religius yang digemari khalayak makin tinggi nilai jualnya ketika menggunakan label-label agama. Production House (PH) yang memproduksi acara tersebut menggunakan logika kreativitas sehingga mampu mengubah tayangan komersial-sekuler menjadi tayangan yang terlihat religius. Ironisnya, kemasan hiburan berkedok agama ini tidak disadari oleh umat sendiri. Mereka pada umumnya telah dilumpuhkan dengan simbol-simbol agama yang cenderung terlihat religius. Semuanya telah lebur dalam industri karena pengelola televisi berlomba-lomba meng-agamakan-kan produk mereka. Fakta demikian sejalan dengan teori masyarakat informasi, bahwa barangsiapa menguasai informasi, maka akan menguasai dunia. Ini sejalan dengan kredo “barangsiapa semakin lihai dalam memberi label Islam produk mereka, maka dialah yang bakal mengeruk keuntungan di pasar, terlebih karena umat Islam adalah mayoritas pemirsa televisi di Indonesia.”

Menyikapi berbagai tayangan televisi, masyarakat seolah-olah kehilangan daya kritisnya, apalagi kemampuan korektifnya. Kenyataan ini tak lain adalah efek keberhasilan hegemoni media. Lagi-lagi dibuktikan ketika banyak orang terkagum-kagum menyaksikan tayangan-tayangan yang agamis seakan-akan percaya saja bahwa media berniat baik untuk meningkatkan gairah beragama. Jika proposisi ini dapat menjadi dakwaan terhadap televisi, maka kesalahan pihak televisi sebenarnya tidak saja pada agama, tetapi juga pada pemirsa. Karena di situlah proses penyesatan terjadi. Pada agama misalnya, jelas-jelas terjadi pergeseran nilai sakral, sedangkan kesalahan pada masyarakat bukan karena niatan religius tetapi pembodohan yang semata-mata muatan bisnis. Artinya, bahwa semakin banyak yang menonton bukan semakin berhasil misi religiusnya, namun semakin banyak keuntungan finansial yang diraupnya. Sebuah ironi ketika agama memuat ajaran-ajaran yang berlawanan dengan nilai kapitalisme, tetapi justru agama dijadikan alat kapitalis dalam mencapai tujuannya.

Terakhir, pada tataran behavior media telah menyebabkan efek imitasi, masyarakat umum melihatnya sebagai cermin realitas yang dapat menjadi contoh bahkan panutan yang harus diikuti dan ditiru. Selain itu perilaku artis sinetron tak jarang menjadi panutan. Tanda-tanda bahwa mereka sudah terpengaruh dari sinetron terlihat ketika mereka melakukan peniruan atau imitasi dari apa yang mereka tonton (Labib, 2002), mulai dari remeh-temeh gaya bicara dengan menirukan ungkapan-ungkapan tertentu. Remaja juga rela mengubah model rambut dan dandannya seperti artis kesayangannya. Di salon mereka meminta kepada kapster. “Mbak, potong rambut model Bunga Citra Lestari” atau “Mas,  potong rambutnya model Tora Sudiro”. Ujung-ujungnya tren seperti ini dimanfaatkan oleh pihak industri di bidang garmen dan alat komunikasi (HP) dalam menawarkan barang dagangannya (Labib, 2002).

Penutup: Media Literacy, Agenda Mendesak

Menyikapi berbagai kondisi tayangan sinetron yang tidak ramah sebagaimana dipaparkan di atas sudah saatnya penonton bersikap kritis. Kritis tidak hanya sekadar mengeluh dan mencerca, melainkan dengan meningkatkan kepekaan dan kesadaran bermedia, yang diperkuat dengan pengetahuan, kemampuan bersikap, sampai pada tindakan atau action (misalnya kampanye antisinetron, menulis surat pembaca ajakan boikot, menggugat ke statisun televisi, dsb). Ini perlu dilakukan mengingat harus diakui sampai detik ini pemerintah atau institusi lain yang relevan belum mampu membuat peraturan yang bisa memaksa isi media lebih ramah terhadap anak dan remaja, termasuk juga penyebarannya (distribusi) yang memberi perlindungan kepada anak. Hukum distribusi media (distribution law) perlu dibuat untuk menghindarkan anak di bawah umur dari “kejahatan media”, terutama pornografi.

Kritis bermedia dalam konsep Media literacy dalam praktiknya bisa dilakukan dengan membatasi akses terhadap media dan memilih isi media yang sehat (YPMA, 2006). Media literacy juga berarti seseorang harus memahami seluk beluk media, termasuk dalam kaitan ini sinetron. Remaja harus memahami bahwa semua sinetron didesain untuk menciptakan agenda bagi penontonnya, mengenai apa yang dianggap penting dan tidak penting, mana yang harus ditonjolkan dan mana yang dikaburkan. Remaja juga harus menyadari, keberadaan televisi beserta program acaranya tidak pernah terlepas dari berbagai kepentingan di belakangnya. Media juga berpotensi membentuk gaya hidup masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Pada tingkatan lanjut, penonton dapat melakukan penilaian yang meliputi tahapan-tahapan berjenjang terhadap keseluruhan berbagai aspek dalam sinetron, seperti kemampuan menganalisis, kemampuan membandingkan/mengontraskan, kemampuan evaluasi, kemampuan menyimpulkan, dan kemampuan apresiasi. Media literacy bukanlah sekedar kemampuan (skill) untuk ‘membaca’ media. Media literacy juga mencakup pengertian yang lebih umum, yakni struktur pengetahuan dan perspektif yang dipakai ketika berhadapan dengan media (Potter, 2001).

“Manfaat” atau “kerugian” adalah keniscayaan yang diperoleh pada dua kategori kelompok penonton sinetron. Kelompok pertama adalah mereka yang dapat mengambil manfaat dari sinetron, yaitu mereka yang cerdas, tidak hanya menikmati hiburan, tetapi juga memilih, menilai dan mampu mengkritisi sinetron. Umumnya, kelompok ini menjadi minoritas di Indonesia. Kelompok kedua adalah penonton sinetron yang rugi karena hanya menikmati alur ceritanya. Motivasi mereka adalah memperoleh hiburan semata, tanpa memperhatikan baik buruknya, layak tidaknya. Celakanya, penonton kategori ini menjadi mayoritas. Pertanyaannya sekarang, Termasuk golongan yang manakah kita? Siapkah kita menjadi penonton yang cerdas? Tentu saja kita bisa menjadi kelompok pertama. Mengapa? Sebagai manusia yang berakal, secara hakiki, publik televisi pasti memiliki daya tahan atau resistensi terhadap berbagai pengaruh tayangan buruk media. Artinya, jika mau dan mengerti (harus dua-danya sejalan), ada kemampuan rasional untuk memilih dan membedakan informasi mana yang berguna, mana yang tidak bagi kita. Semoga!


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.

[2] Terkait dengan kebiasaan menonton televisi bagi remaja, suatu studi yang dilakukan oleh Mann (1995: 26; dalam Ashadi Siregar, 2001: 3) terhadap remaja Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa rata-rata remaja dengan usia antara 11-18 tahun menghabiskan waktu menonton televisi 22 jam 59 menit dalam satu minggu. Secara statistik, remaja di Amerika adalah kelompok audiens yang cukup banyak mengalokasikan waktunya guna menonton televisi. Pada studi lain, rata-rata remaja Amerika menonton televisi selama 7, 5 jam perhari bahkan beberapa diantaranya mencapai lebih dari 60 jam perminggu (Barran, 1999: 224-226). Durasi tersebut memungkinkan remaja mengakses beragam program tayangan televisi, termasuk sinetron. Meskipun data ini bukan berangkat dari penelitian di Indonesia, namun tren yang berkembang di tanah air selama kurun waktu lima tahun terakhir tidaklah jauh berbeda.

[3] Dalam paraktiknya, ada juga sinetron yang ratingnya rendah, namun tetap digemari pemasang iklan. Sinetron Dunia Tanpa Koma adalah salah satu contoh. Umumnya, dalam logika bisnis tayangan televisi, program berating rendah yang  tetap dibanjiri iklan adalah program-program acara yang memiliki segmentasi khusus.

[4] Statemen ini msialnya disampaiakan oleh Kamaludin, anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 31 Juli 2005.

[5] Studi efek media meruapakan kajian klasik dalam ranah ilmu komunikasi, seperti yang dilakukan  Lazarsfeld et. al (1944), Berelson et.al. (1954),  Hovland et.al (1950), Hughes (1950), dan Klapper (1960), [Llihat  McQuail, 2000: 418 ], atau yang memfokuskan pada aspek media dan kekerasan, misalnya Hovland (1953), Merton (1946), Walter dan Bandura (1963) Berkowitz (1967); Fesbach & Singer (1967); J. Hoyt (1967); Hicks (1968); dan Gerbner (1971), [Lihat DeFleur dan Rockeah, 1975: 218-236]. Lihat juga ”Media Literacy pada Kelompok Remaja di Indonesia”, Laporan Riset Unggulan Bidang Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) LIPI, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2005).