sumber foto: http://media.metronews.topscms.com

Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Bagaimanapun kecilnya sebuah kontroversi, jika diliput dan diberitakan oleh massa akan berubah menjadi konflik yang lebih besar. Paling tidak keberadaannya akan memiliki legitimasi. Demikian ungkap Tichenor, et.al dalam bukunya Community Conflict and the Press. Tanpa media massa, konflik akan menjadi berita kecil yang terbatas daya jangkaunya. Lebih lanjut Tichenor menilai, efek psikologis pemberitaan konflik jauh melebihi apa yang bisa dicapai oleh konflik itu sendiri. Dalam konteks inilah media menjadi sarana percepatan sebuah topik menuju kesadaran dan kepentingan masyarakat yang lebih tinggi dan lebih luas (Tichenor, et.al, 1980: 119).

Realitas media memberitakan konflik bukanlah persoalan sederahana. Efek pemberitaan konflik melalui media massa memiliki dua sisi ambivalen: mempertajam atau sebaliknya, mereduksi konflik. Setidaknya ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik. Pertama, media sebagai issue intensifier: media berposisi memunculkan konflik kemudian mempertajamnya. Dalam posisi ini, media mem-blow up realitas menjadi isu sehingga seluruh dimensi konflik menjadi transparan.

Kedua,  media sebagai conflict diminisher, yakni menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis.

Ketiga, media berfungsi sebagai pengarah konflik (conflict resolution), yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Lewat pemberitaan di media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap apriori yang semula terbentuk.

Menurut konsepsi “baku” etika jurnalisme, dalam pemberitaan konflik, media yang diwakili oleh jurnalis dituntut berada dalam “situasi tengah” antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Beberapa pandangan meneguhkan bahwa tugas jurnalis yang utama adalah menjalankan profesi secara independen dengan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik. Jurnalis juga tidak boleh memihak salah satu pihak atau hanya menyuarakan pihak tertentu dan menafikan keberadaan pihak lain. Karena itu jurnalis tidak boleh membawa kepentingan salah satu pihak yang bertikai. Semua pihak memiliki hak yang sama atas akses informasi.

Pendek kata, peran ideal seorang jurnalis dalam memberitakan konflik adalah menjalankan tugas profesional. Saat bertugas, jurnalis memiliki komitmen untuk mencari berita dan menginformasikannya kepada pembaca sesuai standar teknis dan etika jurnalistik. Untuk memenuhi tuntutan profesionalisme itu, sekali lagi jurnalis harus selalu menjaga sikap netral, objektif, berimbang, akurat, dan benar sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak (Burns, 2002: 22-24).

Pandangan-pandangan normatif tentang “profesionalisme” wartawan kemudian dikritik oleh Kovach (2004) dan Charity (1995). Kovach mengungkapkan, komitmen kepada warga (citizen) yang dimiliki jurnalis seharusnya lebih besar ketimbang egoisme profesional. Artinya, tugas utama seorang jurnalis adalah bertanggung jawab kepada kepentingan warga. Kesetiaan pada warga ini disebut Kovach sebagai independensi jurnalistik yang sesungguhnya (Kovach & Rosenthiel, 2004: 59). Dalam ranah kesadaran moral yang lebih luas, jurnalis diharapkan memiliki kepekaan sosial sehingga mendorong terciptanya arah penyelesaian konflik melalui berita yang ditulisnya. Jurnalis bekerja tidak sekadar memberitakan tanpa memberi alternatif bagi penyelesaian persoalan yang terjadi di ruang publik (Charity, 1995).

Emka (2005: 122) menegaskan bahwa pekerjaan jurnalistik adalah intervensi, sebab klaim tentang “kami hanya melaporkan fakta” samasekali tidak memberikan gambaran utuh tentang peran yang seharusnya dilakukan jurnalis. Untuk itu, jurnalis terlebih dahulu harus bertanya pada diri mereka “apa yang bisa saya lakukan dengan campur tangan itu untuk bisa mendukung terjadinya perdamaian?”.

Sebaliknya, degan tegas Subiakto (MediaWatch!, Edisi 21, tahun III, Mei 2002) menyatakan, dalam kondisi apapun jurnalis harus tetap berpegang pada objektivitas, tidak boleh memihak siapapun, kecuali kepada kebenaran. Jika prinsip objektivitas berita dilakukan dengan benar, tanpa berpihak pun pemberitaan pers akan menguntungkan publik atau rakyat. Sebaliknya, jika jurnalis berpihak, pasti akan memunculkan persoalan. Jurnalis akan menjadi lawan dari salah satu pihak yang yang diberitakan. Jurnalis dianggap memusuhi suatu pihak dan membantu pihak lain.

Dua perspektif di atas seakan mempertajam perbedaan konsep antara jurnalisme fakta dan jurnalisme makna, jurnalisme konvensional dan jurnalisme modern. Pertanyaannya sekarang, ketika sebuah konflik berkecamuk, kemanakah jurnalis harus berpihak? Haruskah jurnalis tetap menjaga dalil-dalil keseimbangan berita, sementara di satu sisi ia punya kewajiban moral untuk aktif mereduksi konflik? Apakah tidak terkesan berlebihan jika jurnalis dibebani misi sebagai “juru damai” bagi pihak-pihak yang bertikai? Ataukah jurnalis harus konsisten bersikap netral dengan menegaskan posisinya sebagai pelapor fakta?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan ini terjawab, pertama harus disadari bahwa di level meso institusi sendiri, media bukanlah lembaga yang terbebas dari prasangka, subjektivitas ataupun kepentingan-kepentingan tertentu. Pemilik media berhak menentukan kebijaksanaan terhadap suatu berita. Akibatnya, sebagai produk akhir (mikro), berita bisa dibuat berdasarkan ragam kepentingan, terutama berkaitan dengan ekonomi dan politik media.

Senada dengan konsep ini, Emka menilai, di tengah hiruk-pikuk pertarungan kepentingan yang ada dalam masyarakat, media selalu memiliki kepentingan sendiri. Bisa jadi sekadar kepentingan bisnis untuk menaikkan tiras dengan menjual isu-isu panas mengenai konflik yang terjadi di masyarakat atau kepentingan yang lebih bersifat ideologis, termasuk kepentingan politik. Kepentingan semacam ini mendorong wartawan menomorduakan kontrol profesinya sehingga kemudian lahir liputan-liputan yang bias, tidak berimbang, tidak adil, bahkan memperparah situasi konflik. Dalam kondisi ketika pers sudah masuk dalam keberpihakan, tindakan menyembunyikan atau memelintir fakta kebenaran—karena dipandang tidak menguntungkan media—menjadi jamak dilakukan (Emka, 2005: 106).

Kenyataan demikian juga berangkat dari fungsi media yang disadari maupun tidak, mampu menentukan pemikiran, pesepsi, opini, dan bahkan perilaku masyarakat. Pada saat itu media dipandang sebagai penyampai imaji. Imaji ini tidak terbatas pada sesuatu yang konkret-visual (kasat mata), melainkan juga sesuatu yang “tampak” dan hadir pada batin sebagaimana yang sering disebut-sebut Horowitz dengan “teori imajinasi” (Sobur, 2003: 111).

Media massa memiliki keterbatasan dalam menyajikan seluruh realitas sosial sehingga ada proses seleksi saat para editor sebagai gatekeeper memilih berita-berita mana saja yang akan dimuat atau tidak. Pemilihan ini jelas sangat subjektif dan bergantung pada misi, visi, nilai, atau ideologi yang ingin disampaikan media massa. Ketika media menyelekasi pemuatan berita, media itu telah berpihak kepada suatu nilai. Dalam kaitan ini, posisi media akan berada dalam tiga kemungkinan keberpihakan, yaitu apakah media cencerung berafeksi positif, netral, atau negatif.

Keberpihakan yang paling mendasar terhadap suatu objek menurut Berkowitz adalah perasaan mendukung (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) (Prakoso, Jurnal ISKI, Vol III/April 1999). Lebih spesifik lagi Thurstone (dalam Prakoso, Jurnal ISKI, Vol III/April 1999) mendefinisikan sikap berpihak sebagai derajat afeksi positif atau afeksi negatif terhadap suatu objek psikologis.

Lalu dengan melihat perbedaan dasar paradigma dan perspektif jurnalisme, bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan berpihak dalam meliput dan memberitakan konflik? Dimulai dari kewajiban wartawan memahami dan mempraktikkan jurnalisme profesional dengan menepati prinsip objektivitas pemberitaan. Kemudian setelah standar dasar jurnalisme tersebut terpenuhi, wartawan hendaknya menerapkan jurnalisme damai dalam setiap pemberitaan konflik yang ditulisnya sehingga kontroversi tidak berlangsung berlarut-larut tanpa arah penyelesaian. Selanjutnya, agar berita yang disajikan kepada pembaca mampu mengungkap realitas konflik secara komprehensif, wartawan juga perlu bereksperimen kreatif dengan teknk peliputan ala jurnalisme investigasi. Dan sebagai titik puncak dari “perjalanan menentukan keberpihakan” ini, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, jurnalis berkewajiban menerapkan jurnalisme publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.