Sumber gambar: http://blog.anehnie.com

Iwan Awaluddin Yusuf[1]

 

Cerita ini saya peroleh dari dosen saya, Cak Budhy K Zaman. Ia bercerita, konon pada tahun 1890, ada seorang petani tua yang setiap hari pergi ke bioskop yang sama untuk menonton film yang sama dengan adegan yang sama pula. Ia menyaksikan sebuah tayangan yang nyaris tanpa cerita, tanpa bintang, dan tanpa suara terpampang pada layar besar di hadapannya. Gambar yang tampak adalah dua sosok perempuan muda tengah melucuti pakaiannya di tepi sebuah danau. Tepat sebelum lembar terakhir pakaiannya terlepas, mendadak melintas sebuah kereta api menutup pandangan ke arah mereka. Adegan berikutnya kedua perempuan muda itu sudah berenang di danau. Ketika suatu hari manajer bioskop mendatangi dan dengan gusar menanyakan apa yang mendorong petani tua sampai nekad menonton film itu setiap hari, dengan tenang petani itu menjawab: “Aku berharap suatu hari kelak kereta api itu datang terlambat”.

Lebih lanjut, lima tahun kemudian, di penghujung tahun 1895, sebuah sensasi baru muncul sehubungan dengan pemutaran film yang menggambarkan adegan sebuah lokomotif melaju kencang mengarah ke kamera. Film pendek (35mm), berkecepatan 16 frame perdetik dan berdurasi kurang lebih 2 menit itu begitu mencengangkan dan mengejutkan penonton sehingga mereka panik, berteriak, dan melompat dari tempat duduknya (Baran, 1999: 147). Itulah sensasi pertama yang didapat para audiens film, saat untuk pertama kalinya Auguste dan Louis Lumiere menggelar pemutaran film untuk publik. Berikutnya, pada 12 Juli 1896, audiens di West End Park, Ottawa, Kanada, sempat dihebohkan oleh tontonan adegan ciuman antara May Irwin dan John Rice. Film The Kiss (durasi 47 detik) arahan sutradara William Heise yang bekerja untuk Thomas Edison ini, dianggap sebagai film komersial pertama yang dipertotonkan di hadapan publik dan dinilai telah membangkitkan skandal yang menghebohkan serta memaksa pengerahan sejumlah polisi untuk mengamankan di mana pun film ini dipertontonkan (Zaman, 2007).

Sensasi dan kontroversi sebagaimana tergambarkan dari tiga cerita di atas menandai awal kebangkitan industri perfilman sebagaimana dikenal sekarang ini. Menurut Zaman (2007: 86), kehadiran media film saat itu menjadi istimewa. Selain karena mampu memberikan gambaran realistis tentang dunia yang mengusik rasa keingintahuan penonton, film adalah bentuk seni kompilasi dari beberapa cabang kesenian lain yang bersifat populer[2]. Film juga mempunyai daya tarik masal yang sangat potensial dijadikan sebagai arena bisnis dan sarana pengeruk uang. Pada saat yang sama perkembangan film tak pernah terlepas dari pergolakan yang terjadi di ranah sosial, budaya, politik dan ekonomi. Karena alasan-alasan tersbut, tidak heran jika kemudian film sering menjadi sasaran regulasi dan kebijakan pemerintah. Demikianlah film, satu media yang yang terus-menerus mengalami perubahan dan merespon situasi di sekelilingnya.

Menurut Quick & La Bau (1972: 11) serta McQuaill (2000: 18), film sebagai media komunikasi audio-visual memiliki karakteristik yang unik dan agak berbeda dengan media lain, di antaranya:

  1. Memiliki dampak psikologis yang besar, dinamis, dan mampu mempengaruhi penonton.
  2. Biasanya lebih dramatis dan lengkap daripada hidup itu sendiri.
  3. Terdokumentasikan, baik gambar maupun suara.
  4. Mudah disitribusikan dan dipertunjukkan.
  5. Mampu membangun sikap dengan memperhatikan rasio dan emosi sebuah film.
  6. Terilustrasikan dengan cepat sebagai pengejawantahan dari sebuah ide atau sesuatu yang lain.
  7. Interpretatif: mampu menghubungkan sesuatu yang sebelumnya tidak berhubungan.
  8. Mampu menjual sebuah produk dan ide (sebuah alat propaganda yang ampuh).
  9. Mampu menjembatani waktu: baik masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.
  10. Mampu memperbesar dan memperkecil objek; dapat memperlihatkan sesuatu secara mendetail.
  11. Dapat menunjukkan sesuatu yang kompleks dan terstruktur.
  12. Berorientasi untuk ditampilkan kepada publik.
  13. Bersifat internasional dan membawa ideologi tertentu.

Menurut pandangan Metz (1975: 264), bagi sebagian orang, film merupakan media massa yang dirasakan paling intim. Pengalaman pergi menonton film di gedung bioskop untuk pertama kalinya bagi seorang individu mungkin saja merupakan sebuah pengalaman yang tidak mudah dilupakan. Dalam sebuah ruangan yang gelap gulita, seorang individu diajak untuk memusatkan perhatiannya kepada layar putih yang bercahaya di depannya. Ratusan gambar silih berganti menghiasi permukaan layar berpadu dengan suara dan musik. Kemudian, imajinasi individu diajak memasuki sebuah dunia lain melalui hadirnya tuturan narasi di dalam film.

Dalam teori film psikoanalisis, baik keadaan menonton (viewing states) maupun teks film itu sendiri dianggap dapat menggerakkan fantasi alam bawah sadar penonton (unconscious fantasy) (Jowett dan Linton, 1980: 100). Dengan menonton film, penonton diajak untuk memproyeksikan hasrat bawah sadarnya ke dalam film. Akibatnya, film pun seolah-olah menjadi arena bagi pementasan fantasi yang berasal dari hasrat alam bawah sadar penontonnya (Stam, Burgoyne dan Lewis, 1998: 141; Tjasmadi: 207; Narendra: 98). Bertaut dengan gejala ini, Kuhn (1995: 430) menyebut film sebagai mesin pembuat kesenangan (pleasure machine).

Lebih lanjut Narendra (2007: 97) menilai, pengalaman menonton film yang terasa begitu intens inilah yang telah membuat banyak orang seperti tersihir di hadapan layar perak. Kemampuan film yang “ajaib” ini pun disadari oleh para penguasa di negara-negara fasis maupun demokratis. Film pun lantas menjadi kendaraan komunikasi politik yang ideal bagi ideologi yang menjustifikasi keberadaan para pengusa-penguasa tersebut. Puncaknya, film dijadikan alat propaganda negara-negara yang terlibat di dalam Perang Dunia II (1939-1945), terutama Jerman dan Amerika Serikat. Pasca-Perang Dunia II, film masih tetap dianggap punya kekuatan dalam mempengaruhi pikiran banyak orang walaupun tidak lagi untuk tujuan-tujuan yang bersifat propaganda. Bagi kaum kapitalis, film menjadi alat pemicu hasrat konsumerisme dan pemelihara ideologi konservatif yang pro dengan status quo.

Dalam kaitan pesan yang dibawa film, sejarah film dunia mencatat bahwa film selalu tidak terlepas dari persoalan politik atau kekuasaan. Film bukanlah medium yang netral dan berada di ruang hampa (Irawanto, 2004). Tatkala pecah perang dunia, film menjadi ujung tombak propaganda untuk memobilisasi dukungan massa demi kepentingan perang. Di Indonesia, film nyaris sulit dilepaskan dari kepentingan kekuasaan rezim yang berkuasa (Irawanto, 2004; Irawanto, 1999; Said, 1986). Lahirnya sejumlah regulasi dan kebijkan dalam perfilman sejatinya menjadi upaya intervensi negara untuk mengontrol potensi subversif film yang menantang nilai-nilai yang telah mapan—dan pada saat bersamaan—memobilisasi kekuatan film untuk mendukung dan melegitimasi kebijakan pemerintah.

Di satu sisi, film sulit dilepaskan dari aktivitas bisnis. Di Amerika Serikat film menjadi bisnis yang meraksasa. Produksinya beroroentasi massa dan semuanya serbabesar. Fasilitas produksi terpusat oligopolis secara vertikal dan horisontal (Rivers, et.al, 2003; Straubhaar & La Rose, 2006: 187). Saat ini, nilai ekspor film di AS telah melampaui komoditas manufaktur atau barang-barang elektronik (Irawanto, 2004). Dalam era perdagangan bebas, film bahkan menjadi wilayah sengketa di forum GATT atau WTO, bukan hanya antara negara berkembang dan maju, melainkan juga sesama negara maju karena tingginya nilai film sebagai komoditas. Tidak aneh jika sejumlah perusahaan besar Jepang terus berusaha mengusai kerajaan film di Hollywod, sebagaimana yang telah dilakukan Sony terhadap Columbia Pictures (Irawanto, 2004). Sejumlah regulasi dalam perfilman, baik di negara maju maupun berkembang, pada dasamya adalah upaya mengelola dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari film sebagai komoditas bisnis.

Zaman (2007: 86) berpendapat, sejak awal kelahiran film sebagai sarana komunikasi bentuk baru sebenarnya diterima dengan penuh kegamangan. Ini terlihat dari sedikitnya ide tentang bagaimana seharusnya medium ini dikembangkan di kemudian hari. Bahkan juga tak jelas benar bagaimana seharusnya medium ini dimanfaatkan dan bagaimana reaksi audies terhadapnya mesti disikapi. Respon audiens atas kemunculan film pertama kali dipandang tak lebih dari suatu fenomena baru tontonan yang mencengangkan dan menimbulkan decak kagum. Sementara itu, kalangan pembuat film sendiri masih tertegun-tegun heran oleh pertanyaan sampai berapa lama kira-kira nilai film sebagai sesuatu yang “baru” akan berakhir. Mereka sama sekali tidak mempunyai bayangan kalau pada perkembangannya kemudian film bisa menjadi suatu industri global dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian kehidupan manusia.

Di kalangan akademisi, pengaruh film terhadap audiensnya menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung usai. Sadar dengan kekuatan gambar bergerak dalam menggerakkan jutaan orang untuk terlibat dalam Perang Dunia II, sebagian besar pakar komunikasi melihat film telah menjadi media massa yang sangat berpengaruh. Para pakar tersebut, yang pandangannya dikenal dengan sebutan Teori Kritis, melihat film telah menjadi bagian kebudayaan yang direproduksi secara massal dengan tujuan untuk memuaskan hasrat konsumtif masyarakat modern.

Pembahasan mengenai etika dalam film berangkat dari karakeristik media film sebagai media massa audio-visual yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang lewat pesan yang disampaikan, baik dalam alam sadar maupun tidak sadar. Semangat memproduksi film sebagai produk budaya massa yang diarahkan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya kadang mengabaikan faktor moral dan nilai-nilai kepatuan yang ujung-ujungnya merugikan penonton.

Sekadar gambaran, hingga kini tak terhitung lagi banyaknya film-film yang menampilkan citra yang kurang layak ditampilkan, seperti perkosaan, pembunuhan, mistik, dan eksploitasi seksual yang sebenarnya tidak berkaitan langung dengan alur dan struktur cerita. Banyak adegan dalam film menampilkan kekerasan yang diperlihatkan dengan darah, tubuh terluka, kepala bocor oleh pukulan atau tendangan, tubuh memuncratkan darah karena tertembak peluru, daging terkoyak sabetan pedang, tangan terpotong, kepala terpenggal, adegan rambut orang dibakar, lambung ditikam, leher digantung, yang semuanya kerap menjadi objek tontonan anak-anak dan remaja.

Tak hanya itu, kematian yang aneh, sadis, bunuh diri, mati karena penyakit ganas, sampai pembedahan mayat dengan mengaduk-aduk isi perut menjadi sensasi yang  sering dieksploitasi dalam sebuah film. Masyarakat awam yang tingkat media literasinya rendah dan tidak memiliki preferensi yang cukup tentang esensi film sebagai karya imajinasi dan rekaan teknologi tentu akan menjadi sasaran empuk berbagai dampak negatif yang timbul setelah menonton tayangan film demikian. Untuk itulah dalam berkreativitas, pekerja film dituntut memiliki sensitifitas terhadap tata nilai dan budaya yang berlaku. Di Amerika, menurut Straubhaar & La Rose (2006: 205) dan Monush (1994, dalam Albarran, 1996: 131), di tengah derasnya arus industri perfilman Hollywood yang berorientasi pada bisnis dan pengerukan laba, Motion Picture Assosiation of America (MPAA) mengeluarkan kategori rating yang dijadikan pedoman awal (self regulatory) bagi pembuat film ketika berencana mulai memproduksi sebuah film. Tujuannya adalah untuk melindungi penonton, terutama kalangan anak-anak dan remaja dari tayangan kekerasan, seksual, dan berbagai perkataan tidak senonoh.


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.

[2] Dilihat dari aspek seni, film memiliki keterkaitan dengan cabang kesenian lain, misalnya: novel (inspirasi untuk struktur naratifnya); drama (komposisi dan cara pemamapran konflik); lukis (komposisi ruang, tata cahaya, gelap terang, warna, dan tekstur); musik (keselarasan ritme dan gerak); fotografi (penampilan image trimatra sehingga terkesan trimatra /perspektif dengan kedalaman dan bayangan); tari (penampilan gerak figur dalam ruang yang harus diselaraskan dengan ritme musik); dan terakhir cabang ilmu arsitektur (setting interior dan eksterior).