Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Sejak Spontan pertama kali hadir pada tahun 1995 di layar kaca, bisa dikatakan, pemirsa televisi swasta Indonesia mulai mengenal konsep acara reality show. Kesuksesan acara yang melambungkan nama komedian Komeng ini segera diikuti oleh program sejenis di stasiun televisi swasta lain. Rating yang tinggi dengan biaya produksi murah mendorong terus diproduksinya acara-acara reality show yang hingga saat ini tidak terhitung jumlahnya. Beberapa acara yang fenomenal dengan variasi konsep di antaranya Paranoid, Katakan Cinta, Tolong, Bedah Rumah, Kena Deh, Ketok Pintu, Termehek-Mehek, Dunia Lain, Pemburu Hantu, Playboy Kabel, Curhat Anjasmara, Kacau, Uang Kaget, Tukar Nasib, Jika Aku Menjadi, Super Trap, Realigi, dan lainnya.

Namun demikian muncul pertanyaan, apakah acara yang yang sekarang banyak disebut reality drama tersebut benar-benar nyata atau sekadar rekayasa? Anette Hill (2005) pernah mengkritik, model reality show yang sering ditayangkan televisi sebagai (un)reality show karena sering membodohi publik dengan format acara yang seolah dikemas nyata, padahal di dalamnya mengandung unsur skenario, penyutradaraan, dan keterlibatan pemeran yang dibayar.

Di Indonesia, banyak momentum yang menjadi kontroversi acara reality show. Kasus terbaru adalah Program Super Trap yang ditayangkakan Stasiun Trans TV (Minggu, 25 November 2012). Tim produksi Super Trap memasang kamera tersembunyi untuk menangkap adegan para pengguna toilet umum yang akan buang air besar/kecil. Dengan konsep menjebak, mereka memasang jebakan pada toilet dengan kamera tersembunyi yang dipasangkan dalam ruangan toilet. Unsur kejutannya sebagaimana diinginkan oleh tim kreatif, para korban (pria dan wanita) yang sudah menurunkan celana dikejutkan dengan toilet yang mendadak terangkat ke udara menggunakan alat hidrolik. Akibatnya orang-orang yang dijebak di toilet tersebut terlihat auratnya hingga secara spontan berusaha menutupinya dan memakai pakaian yang ditanggalkan karena ditonton semua orang yang lewat di sekitar lokasi. Walau memang bagian vital para korban disamarkan, ditutup dengan emoticon, namun yang dilakukan kru Super Trap sangat tidak etis dan tidak bisa dibenarkan. Super Trap edisi toilet ini akhirnya dihujani protes di media sosial. Mereka yang malam itu sempat menonton, menilai bahwa jebakan Super Trap kali ini bukan lagi kreatif, tapi justru kelewat batas, tidak bermoral, dan melanggar privasi.

Ironisnya, pada saat acara penjebakan sebagaimana terlihat di layar kaya, kru acara terlihat cengengesan karena jebakannya berhasil. Pra kru seolah tidak sadar arti penting kepantasan dan kesantunan dalam dunia penyiaran. Sebagai salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia, Trans TV yang menyiarkan program ini juga telah melakukan kekerasan simbolik karena menabrak ruang pribadi masyarakat. Jika kamar kecil sebagai simbol privasi sudah tak aman dari pengawasan kamera media, itu tentu menjadi salah satu tanda buruknya kualitas profesionalisme media dalam menjaga etika .

Selian pelanggaran etika, dari segi kreatif, tema toilet inipun sesungguhnya mengandung masalah karena ternyata tidak lebih dari copy-paste tema acara reality show lain di luar negeri. Sayangnya demi mengejar kecepatan produksi dan memenuhi variasi tema, akhirnya tidak sempat lagi diriset atau sertidaknya dipikirkan bagaimana kepantasan dan kelayakannya jika tema tersebut diterapkan di Indonesia. Dari kasus ini juga akhirnya terkuak, sebagaimana dugaan banyak orang, orang-orang yang dikerjai itu sesungguhnya para talent yang sengaja dibayar oleh Trans TV untuk berakting seolah-olah dikerjai secara alami. Kaganjilan reality show sebagai pertunjukan acara yang seharusnya “nyata” namun terlihat dibuat-buat juga tampak dari akting para pelaku yang terlibat sangat “sadar kamera”. Para pemain seolah menyadari posisi mereka saat kamera dengan diam-diam merekam. Bagi penonton yang jeli akan mudah mengindentifikasi jika mereka hanyalah cast yang diatur agar menjaga ‘titik pandang’ kamera sehingga mudah saat proses editing.

Adanya sebagian pemain bayaran inilah yang menyebabkan banyak korban dalam acara reality show seolah-olah tidak keberatan, bahkan dengan mudah berpose senang di depan kamera setelah dikerjai habis-habisan. Bayangkan jika kita bukan talent, namun menjadi korban dikerjai/dijebak di toilet seperti itu? Sudah pasti sebagai orang normal akan marah-marah, menyumpah, bahkan bisa menuntut secara hukum.

Menyikapi kasus Super Trap, KPI Pusat akhirnya memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada Trans TV atas tayangan Super Trap edisi toilet tersebut. Selain itu KPI Pusat juga menghukum Trans TV untuk menayangkan dan menyiarkan pernyataan permintaan maaf yang berkaitan dengan aduan dan pelanggaran yang telah terjadi.

Seandainya Televisi Mau Belajar dari kontroversi masa lalu, maka kasus Super Trap barangkali tidak perlu terjadi. Salah satu reality show di Indonesia yang paling diingat karena “ketidaketisannya” sekaligus memakan korban adalah acara PARANOID. Ditayangkan di tahun 2008, acara ini mengambil format “spoof”, yakni para korban yang diambil secara acak akan dikejutkan dengan kejadian-kejadian yang membuat mereka seperti seorang paranoid yang ketakutan. Sebagian besar korban ditakuti dengan kejutan pemunculan mahluk halus seperti kuntilanak, pocong, tuyul, atau pun yang lain.
Acara ini pada akhirnya memakan korban. Diana Damey Pakpahan yang kala itu sedang hamil 8 bulan nyaris keguguran setelah terjatuh akibat dikageti oleh Tim Paranoid. Atas kejadian itu, Diana sempat memejahijaukan produser dan stasiun televisi yang membuat serta menyiarkan acara tersebut. Beruntung semua pihak akhirnya bisa berdamai.(Chandra, http://theextreme-facts.blogspot.com/).

Selain Paranoid ada juga MOP (Mbikin Orang Panik) yang merupakan salah satu acara reality show berusia pendek. Ditayangkan sekitar tahun 2005, reality show ini hanya ditayangkan sekitar 10 episode sebelum akhirnya masa penayangannya dihentikan. Acara yang juga mengambil format “spoof” ini bertujuan untuk “ngerjain” korban yang dipilih secara acak hingga panik dan ketakutan. Pada saat korban hampir putus asa, barulah diberi tahu kalau ia baru saja dikerjain. Dalam sebuah episode MOP, ada seorang korban bernama Piko, yang saat itu Mahasiswa Universitas Indonesia Esa Unggul – yang tiba-tiba didekati oleh polisi (diperankan anggota polisi Metro Jaya sesungguhnya). Si korban dicurigai membawa ganja. Saat digeledah, diam-diam sang polisi menanamkan narkoba ke tubuh korban. Begitu narkoba tersebut ditemukan, sang korban langsung digelandang ke polisi dan ditanya macam-macam. Sang korban benar-benar stress dan nyaris depresi. Akibat tayangan tersebut, Kepala Polda Metro Jaya (kala itu) Inspektur Makbul Padmanegara langsung menyidangkan tiga perwira polisi yang ikut dalam tayangan tersebut (Kepala Polsek Kebon Jeruk KomPol Ahmad Alwi, Wakapolsek Kebon Jeruk Ajun Kompol Hermino, dan Kepala Unit Patroli Polsek Kebon Jeruk Inspektur Satu Sunarjo). Tayangan tersebut dianggap sangat melanggar kode etik kepolisian dan mencemarkan nama baik polisi. Sejak mencuatnya kasus ini, maka acara tersebut langsung dihentikan penayangan dan pembuatannya (Chandra, http://theextreme-facts.blogspot.com/).

Bagaimana aturan penayangan reality show semacam ini? PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA terbaru yakni Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN pada Bagian Keenam tentang Perekaman Tersembunyi Program Nonjurnalistik pada pasal 32 disebutkan:

Lembaga penyiaran yang melakukan peliputan program nonjurnalistik dengan menggunakan rekaman tersembunyi wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. tidak untuk merugikan pihak tertentu;

b. jika usaha perekaman tersembunyi diketahui oleh orang yang menjadi objek dalam perekaman, maka perekaman tersembunyi wajib dihentikan sesuai dengan permintaan;

c. tidak disiarkan apabila orang yang menjadi objek dalam perekaman menolak hasil rekaman untuk disiarkan;

d. tidak disiarkan secara langsung; dan

e. tidak melanggar privasi orang-orang yang kebetulan terekam.

Dengan terus memproduksi acara reality show semacam Super Trap ini, Trans TV dan televisi lain sesungguhnya sedang terjebak dalam ketidakpatutan dengan dalih kreativitas. Kreativitas yang akhirnya menjadi bumerang karena melanggar batas-batas etis. Dalam mengekpos privasi, kesalahan, penderitaan, kemiskinan, atau rasa malu orang lain dan mempublikasinnya ke hadapan publik sebagai hiburan sama saja dengan “pembunuhan karakter” dan “penelanjangan harga diri”?  Ironisnya, semua itu menjadi hal yang halal dalam indutri televisi kita karena alasan sekadar “hiburan”. Kalau sudah demikian, lantas di manakah hak publik untuk mendapatkan hiburan yang berkualitas? (Iwan Awaluddin Yusuf).


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia -Yogyakarta, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.