Infografik Adaptif Iwan
Infografik: Iwan Awaluddin Yusuf for PR2MEDIA

Iwan Awaluddin Yusuf [1]

Regulasi komunikasi yang adaptif dapat didefinisikan sebagai kemampuan regulasi, khususnya undang-undang di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan telekomunikasi untuk memprediksi sekaligus merespon perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam kurun waktu tertentu yang dianggap sesuai dengan kewajaran mengikuti daur revisi atau perubahan undang-undang.

Adaptabilitas atau fleksibilitas undang-undang sistem komunikasi menjadi bagian yang penting dalam penataan sistem komunikasi di sebuah negara untuk meminimalkan risiko ketertinggalan dan ketidaksinkronan antarsistem komunikasi, khususnya yang terkait dengan teknologi. Selain itu, regulasi yang disusun dengan mempertimbangkan semangat adaptif akan mendorong kemampuan para pelaku komunikasi dalam menghadapai perubahan, baik eksternal maupun internal berkaitan dengan perkembangan teknologi yang semakin kompleks dan dinamis sesuai dengan konteks kebijakan yang melingkupinya.

Dalam tataran yang lebih luas, regulasi komunikasi diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat global yang telah berkembang menjadi masyarakat sipil berjaringan melalui internet. Argumentasi inilah yang menjadi alasan perlunya regulasi komunikasi yang adaptif dengan perkembangan teknologi dan pada saat yang sama menjawab kebutuhaan riil masyarakat, bukan sekadar mengikuti tren dan kecepatan teknologi.

Secara mendasar, filosofi teknologi yang adaptif melibatkan tiga aspek, yaitu infrastruktur teknologi, sumber daya manusia (SDM), dan proses teknologis.

  1. Infrastruktur teknologi, terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan pihak ketiga (aplikasi dan teknologi pendukung).
  2. Sumber daya manusia, terdiri dari peran, ketrampilan, dan struktur organisasi yang memproduksi, menjalankan, dan menunjang daur hidup teknologi.
  3. Proses teknologis, terdiri dari standar dan mekanisme yang menjamin keberlangsungan daur hidup dari infrastruktur teknologi. Dengan kata lain, penciptaan lingkungan yang kondusif terhadap aktivitas manusia dalam kaitannya dengan teknologi.

Ketiga aspek tersebut harus selalu diorientasikan untuk bisa mengikuti perubahan lingkungan yang dinamis, kompleks, dan sulit diprediksi.

Selanjutnya, untuk menilai atau mengukur bahwa suatu regulasi teknologi bersifat adaptif, digunakan kriteria-kriteria tertentu, antara lain:

  1. Kemampuan mengakomodasi perubahan atau peningkatan penggunaan infrastruktur, layanan , dan konten.
  2. Integration/reuse. Kemampuan dalam penggunaan ulang dan integrasi antar komponen infrastruktur, layanan , dan konten.
  3. Kemampuan untuk membagi fungsi dan kompleksitas infrastruktur, layanan, dan konten.
  4. Kemampuan menyediakan antar muka yang beragam bagi pengguna.
  5. Terkait dengan dukungan terhadap kecepatan implementasi fitur atau aplikasi baru.

Dari segi infrastruktur, teknologi yang adaptif menjadi bagian yang penting terhadap pengembangan konten dan aplikasi. Infrastruktur TIK yang adaptif memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut:

  1. Efisien, yakni
tersedia komponen-komponen dengan harga dalam batas wajar dan dapat dimanfaatkan bersama oleh aplikasi yang ada saat ini maupun aplikasi baru.
  2. Efektif, yakni adanya kemudahan dalam mengintegrasikan dan memadukan komponen infrastruktur yang ada.
  3. Fleksibel, yakni
 memiliki kemudahan dalam perubahan komponen, baik penggantian, peningkatan maupun perombakan.

Regulasi yang adaptif dengan sendirinya bersifat prediktif dan antisipatif atas berbagai perubahan di masa mendatang. Akan menjadi ironi jika paradigma regulasi bersifat analog sementara teknologi yang diatur sudah bersifat digital. Paradigma teknologi analog tentu sangat berbeda dengan teknologi digital. Jika analog melibatkan satu perangkat teknologi untuk satu fungsi, maka teknologi digital memungkinkan satu perangkat untuk berbagai fungsi. Hadirnya teknologi digital mau tak mau mengubah bisnis komunikasi secara fundamental. Infrastruktur, layanan, konten, dan perangkat digital berinteraksi dalam cara-cara yang baru yang konvergen dan integratif. Konvergensi media dalam kaitan ini dilakukan dengan menggabungkan kelebihan berbagai jenis media ke dalam satu media sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Konvergensi juga ditandai dengan menyatunya hardware dan software yang kompatibel ke dalam satu atau lebih perangkat digital yang terkoneksi. Perangkat ini sering disebut sebagai media baru (new media), yaitu media jenis baru yang lahir dari konvergensi media.

Digitalisasi dan konvergensi mengubah banyak model bisnis, membuka pasar baru, membuka peluang model bisnis baru, dan merombak struktur bisnis yang sebelumnya sudah mapan. Layanan dan pilihan baru pun akan terus bermunculan. Jika tidak mengikuti dan berdaptasi dengan perkembangan ini, bisnis bisa tertinggal, bahkan mati. Kondisi ini sudah diperlihatkan dari kegoncangan dalam banyak sektor. Salah satunya media massa, khususnya cetak. Suratkabar dan majalah yang sebelumnya mengandalkan platform bahan baku kertas, kini hampir seluruhnya memiliki versi online untuk mengantisipasi ditinggal pembacanya sekaligus merangkul pasar baru dari kalangan anak muda.

Pengaruh demikian terjadi hampir di semua sektor yang bersentuhan dengan teknologi. Berbagai tantangan muncul karena perubahan konten media melalui berbagai platform sehingga batas-batas layanan, jaringan, dan praktik bisnis di sektor teknologi informasi komunikasi menjadi pudar. Konvergensi media mengubah pola produksi, distribusi, dan konsumsi pesan dalam sistem komunikasi di sebuah negara. Perubahan sistem komunikasi dalam konteks konvergensi yang sedemikian massif menuntut adaptabilitas regulasi untuk menjawab berbagai tantangan, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

Sayangnya, kebijakan dan regulasi yang ada di Indonesia saat ini ditengarai belum adaptif terhadap perubahan yang bergerak sedemikian cepat dan sangat dinamis. Kurangnya adaptabilitas regulasi teknologi informasi, komunikasi, dan telekomunikasi di Indonesia secara mendasar berkaitan tiga persoalan utama, yakni: Pertama, regulasi yang ada belum menjawab tantangan dan kebutuhan terkini di bidang teknologi dan aplikasinya; Kedua, regulasi belum menjawab kebutuhan riil masyarakat dalam berinteraksi dengan teknologi. Ketiga, lambatnya regulator merumuskan regulasi baru sehingga lamanya proses penyusunan regulasi ini mengakibatkan ketidakjelasan aturan main .

Berangkat dari ketiga persoalan tersebut, bab ini akan menganalisis lebih jauh persoalan regulasi komunikasi dan telekomunikasi di Indonesia dalam konteks kemampuannya beradaptasi terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat di era digitalisasi dan konvergensi media. Selanjutnya pembahasan akan ditekankan pada penyebebab tidak adaptifnya regulasi tersebut serta bagaimana kondisi yang seharusya.

 Keterlambatan Regulasi dalam Merespon Dinamika Global

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dengan situasi geografis dan populasi penduduk yang heterogen baik dari segi sosial ekonomi, politik, budaya maupun agama, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah kesenjangan digital (digital divide). Hal tersebut dapat terlihat dari kondisi sebagai berikut: Pertama, Kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses teknologi dengan mereka yang terbatas aksesnya atau tidak memiliki akses sama sekali; Kedua, kesenjangan antara mereka yang mendapat keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.

Contoh dari kesenjangan ini bisa dilihat dari perubahan orientasi bisnis telekomunikasi yang sedang berada pada era transisi dari konsep bisnis bersifat network-driven yang mengarah ke konsep industri yang application-driven. Bisnis network-driven terjadi karena pengaruh teknologi awalnya lebih menguasai pasar daripada pengaruh layanan. Bisnis para operator sebelumnya adalah bisnis jaringan karena layanan masih sangat terbatas pada layanan suara, sms, dan internet (leased line dan dial-up). Perkembangan yang terjadi pada bidang telekomunikasi sekarang dan ke depan lebih mengarah ke era bisnis layanan konten/aplikasi karena layanan telekomunikasi cenderung semakin menyumbangkan revenue yang lebih meningkat daripada revenue voice/SMS. Layanan konten/aplikasi merupakan bisnis yang sangat berkembang karena konten/aplikasi merupakan bisnis kreatif dan bisa dikembangkan oleh entitas yang kecil sekalipun, baik perorangan, perusahaan kecil maupun juga bisa dalam perusahaan skala menengah hingga besar.

Pada era industri konten, akan semakin banyak pihak yang akan muncul sebagai penyedia konten/aplikasi. Setiap konten tersebut akan bisa diakses oleh pelanggan ketika konten tersebut diletakkan pada jaringan operator telekomunikasi. Jaringan telekomunikasi juga sudah mengalami kejenuhan pada kapasitas jaringan, terutama pada daerah-daerah yang besar (high-demand), namun terjadi kekurangan supply pada daerah yang low-demand. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya dampak kesenjangan (digital devide) yang semakin besar diantara masyarakat yang berada pada daerah low-demand dengan masyarakat yang berada pada wilayah high-demand  di Indonesia.

Tren seperti ini akan terus berlanjut sebagaimana masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia tidak semata-mata membeli telepon seluler untuk berkomunikasi melalui fungsi telephoni, namun juga menginstal beragam aplikasi, baik untuk komunikasi mapun hiburan. Dengan demikkian yang akan terjadi pada era ke depan pada penyelenggaraan jaringan adalah adanya konsolidasi para penyelenggara jaringan di Indonesia, dan bertambahnya penyedia konten yang sangat besar. Tren tersebut harus bisa dijawab dengan adanya regulasi yang bisa mengakomodasi perkembangan berbagai bidang sekaligus melindungi pelaku industri dan masyarakat.

Konsolidasi binis di satu sisi merupakan cara untuk meingkatkan efiseinsi, namun ancaman bagi harapan mendirikan perusahaan yang mandiri dan independen karena pada hakikatnya trena akuisisi dan merger dalam model konsolidasi bisnis yang terkonsentrasi apda perusahaan besar memnyebabkan perusahaan kecil atau starter up lokal terpaksa mengikut standar perusahaan raksasa.

Jika memembahas undang-undang telekomunikasi di Indonesia yang berlaku saaat ini, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, secara umum, UU Telekomunikasi belum dapat dikatakan adaptif. Hal ini terlihat antara lain: UU ini belum mengantisipasi perkembangan bisnis ke depan. Konvergensi memungkinkan bisnis dilakukan secara vertikal dalam arti penyelenggraan telekomunikasi yang mencakup jaringan, jasa dan telekomunikasi khusus (Pasal 7, ayat 1) dapat menyatu (menjadi satu bagian). Hal ini terbukti, Pasal 9 membiarkan penyatuan ini terjadi. Jika tidak dicegah hal ini tidak saja menyebabkan monopoli namun juga berpotensi merugikan masyarakat dan juga melanggar prinsip keadilan. Dalam kaitan inilah, regulasi yang adaptif sangat dibutuhkan sehingga tidak terjadi ketidakjelasan aturan main.

Ketidakjelaskan pengaturan yang lain misalnya dapat dilihat dari fenomena iklan online berbasis digital dengan provider asing yang selama ini tidak memberi kontribusi langsung kepada Indonesia karena peraturan mengenai pajak iklan yang ada hanya memayungi periklanan untuk media massa konvensional seperti radio, televisi, media cetak atau media lain yang kantonya berada di Indonesia.

Perusahaan online over-the-top (OTT) raksasa seperti Youtube dan Facebook belum memiliki kantor di Indonesia dan keuntungannya langsung masuk kas perusahaan tersebut serta bebas biaya pajak dari pemasangan iklan. Kondisi demikian terlepas dari jangkauan regulasi yang ada. Meskipun secara mendasar lebih terkait dengan sistem perpajakan, namun praktik ekonomi digital dalam dunia cyber saat ini lebih maju dari regulasi yang ada. Peraturan tidak bisa menangkap perubahan model bisnis yang berkembang. Regulasi perpajakan saat ini masih belum bisa menganggap media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan lainnya sebagai objek pajak. Selain itu kebutuhan trafik data yang sangat besar dari perusahaan itu menuntut operator lokal meningkatkan kapasitas saluran (pita), padahal harga pita ini sangat mahal. Para operator atau penyedia jaringan ini pun tidak mendapat keuntungan dari lonjakan trafik, sementara perusahaan OTT meraup untung besar dari penjualan iklan dan konten digital. Ironisnya keuntungan tersebut sama sekali tidak memberi kontribusi berupa pembayaran pajak kepada negara.

Menurut data Redwing-Asia, belanja iklan di Indonesia diprediksi masih mencapai pertumbuhan sehat di semua lini media hingga tahun 2017 dengan pertumbuhan 15-17% per tahun. Meskipun kue yang diperoleh saat ini masih kecil dibanding media televisi yang mencapai lebih dari 60%, segmen iklan digital diperkirakan terus meningkatkan market share-nya hingga menjadi 8,8% (dengan nominal $1,6 miliar atau Rp 18 triliun) di tahun 2017. Pendorong utama perolehan kue iklan untuk segmen digital dan mobile adalah semakin cepatnya akses Internet, baik melalui teknologi kabel/fiber optic maupun teknologi mobile-seluler bagi masyarakat (http://redwing-asia.com, akses 25 Januari 2015).

Kurangnya adaptabilitas regulasi komunikasi juga bisa dilihat dari sektor komunikasi yang lain, misalnya dunia perfilman sebagaimana diatur dalam UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Terkait adaptif tidaknya undang-undangv Film, sejak dari konsideran menimbang (poin d) sebenarnya sudah menjelaskan semangat untuk mengikuti perkembangan teknologi. “d. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;”.

Salah satu aspek teknologi ini diterjemahkan pada pasal 30 ayat 1 yang mencantumkan medium film. (1) Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:

  1. layar lebar;
  2. penyiaran televisi; dan
  3. jaringan teknologi informatika.

Dengan demikian UU ini secara umum sudah berupaya memasukkan jaringan teknologi informatika (internet) sebagai salah satu saluran pertunjukkan film. Sayangnya pasal tersebut masih sangat umum menyebutkan jenis-jenis saluran pertunjukkan film, belum mengatur soal bagaimana hak cipta dari film yang dipertujukkan di internet dan soal-soal lain yang lebih detil, termasuk persoalan teknologi yang tidak diatur dengan baik, seperti penyimpanan data virtual, maupun tidak adanya pemeliharaan seluloid film yang baik sebagai arsip.

Selain itu, banyak persoalan teknologi yang tidak diatur dengan baik seperti penyimpanan data virtual maupun tidak adanya pemeliharaan seluloid film yang baik sebagai arsip. Ini berkaitan dengan kondisi di Indonesia yang belum mempunyai ketahanan data yang kuat karena belum semua server ada di Indonesia. Ia menegaskan bahwa regulasi-regulasi komunikasi cenderung overlapping karena belum ada kesepakatan tentang layar dan pengaturan frekuensi. Pengorganisasian dan kelembagaan cenderung dilakukan oleh swasta, bukan negara.

UU No 33 tahun 2009 memiliki kelebihan sekaligus kelamahan. Kelebihannya, UU perfilman sudah memberikan peluang munculnya asosiasi-asosiasi profesi perfilman dan menyebut tentang aspek digital/konvergensi, termasuk teknologi dari jasa teknik film, tata edar film, pertunjukkan film, apreasiasi, dan pengarsipan film. Namun demikian UU ini memiliki kelemahan misalnya hak cipta film belum dilindungi, padahal hak cipta ada di seluruh pekerja film yang terlibat. Meskipun demikian, Rudi melihat bahwa persoalan terletak pada implementasi undang-undang karena garis koordinasi antar regulator tidak jelas. Selain itu tumpang tindah dan ketidaksinkronan terlihat di berbagai regulasi terkait film, misalnya dalam isu persaingan usaha.

Aspek teknologi perfilman yang berubah karena digitalisasi membuat seluruh proses (praproduksi-produksi-paskaproduksi) menjadi lebih mudah dan cepat sehingga peluang untuk membuka network ke tataran global menjadi lebih mudah. Namun demikian, institusi pendidikan film seolah menjadi kurang perlu karena “semua pengetahuan mengenai film ada di internet”. Makna konvergensi digital, yakni penggabungan dari potensi-potensi yang muncul melahirkan potensi-potensi distribusi baru karena ternyata film tidak hanya melalui bioskop. Konvergensi membuka peluang besar untuk distribusi baru melalui beragam saluran seperti Netflix, Youtube, Vimeo, Google, Yahoo, Facebook dan sebaginya.

Pada tataran parktis, Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi fenomena ini. Contoh kasus dapat dilihat dari booming-nya situs layanan streaming video Netflix yang telah hadir di Indonesia pada 7 Januari 2016, namun akhirnya harus diproteksi dari segala jenis kontennya dan diblokir oleh salah satu provider telekomunikasi di Indonesia.

Pemblokiran Netflix ternyata berkaitan dengan argumentasi persoalan sensor (filtering) dan perizinan usaha. Banyak film dan serial yang ditonton konsumen Indonesia di Netflix. Hanya saja, konten-konten tersebut dinilai belum melalui proses filtering dan harus diproteksi.

Sebagai catatan, Telkom Group memutuskan untuk memblokir Netflx sejak pukul 00.00 WIB per 27 Januari 2016 ini di semua akses layanannya, seperti broadband Indihome, WiFi.id, dan Telkomsel. Menurut pihak penyedia jasa dan layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini, langkah tersebut ditempuh untuk melindungi konsumen sehingga Netflix sengaja diblokir karena dianggap belum memenuhi regulasi di Indonesia dan banyak memuat konten berbau pornografi.

“Mengacu UU No. 33/2009 tentang Perfilman khususnya Pasal 57, maka dalam rangka melindungi konsumen dari konten film yang blm disensor oleh lembaga yang berwenang maka Telkom proaktif untuk memblokir Netflix Telkom sendiri tidak memberikan batas waktu sampai kapan Netflix dinyatakan sebagai konten terlarang di jaringan seluruh layanan internetnya. Namun Telkom memberikan indikasi, pemblokiran itu tak akan berlangsung selamanya. Ini sampai dengan Netflix memenuhi ketentuan UU 33/2009 dan ketentuan lain yang berlaku di Indonesia. (http://inet.detik.com/read/2016/01/27/153620/3128563/317/dirut-telkom-beberkan-alasan-utama-blokir-netflix, akses 15 Februari 2015)

Untuk melindungi konsumen dan memberikan kepastian layanan sesuai dengan imbauan pemerintah, Netflix diharapkan oleh Telkom mengantungi izin usaha di Indonesia serta memiliki kontak layanan untuk memudahkan konsumennya.
Langkah Telkom Group memblokir Netflix mendapat dukungan penuh dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Menurutnya, langkah ini tidak menyalahi aturan. “Telkom blokir Netflix ya tidak apa-apa. Itu judgement bisnis mereka. Yang saya kaget justru seolah-olah mereka disalahin. Kita harus fair. Saya dukung Telkom, tapi pada saat bersamaan kita sedang siapkan regulasinya,” kata Rudiantara. Sebagaimana dikutip detikINET, Rabu, 27/1/2016.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menjelaskan, Netflix harus mengikuti regulasi. Biar bagaimanapun, ada kepentingan masyarakat yang perlu diproteksi terutama dari sisi konten. “Kontennya itu yang harus diperhatikan dan diproteksi, kami juga merencanakan boleh-boleh saja beroperasi, asalkan dari sisi setelah kontennya bisa terkontrol serta harus dalam bentuk BUT (Badan Usaha Tetap) yang berarti server, kantor berada di Indonesia,” ungkapnya.

Argumentasi lain yang dibangun, Netflix hingga saat ini belum menyediakan terjemahan Indonesia terhadap film-filmnya dan belum menyensor beberapa konten-konten dalam film-film Netflix yang dianggap tidak layak tayang. Di dalam film-film yang diedarkan secara streaming, masih terdapat adegan wajib sensor di film adalah yang mendorong kekerasan, judi, penyalahgunaan narkotika, pornografi, memprovokasi pertentangan suku, ras, penistaan agama, melawan hukum, dan merendahkan martabat manusia. Jika satu film terlalu banyak menampilkan adegan tersebut, maka LSF akan mensensor dan otomatis mencegah penayangannya. Dalam Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan bahwa tiap film yang akan dipertontonkan pada khalayak harus mengantongi surat tanda sensor dari LSF.

Sementara itu, Netflix sama sekali belum mengajukan permohonan sensor untuk film-film yang ditayangkannya. Menurut Direktur Consumer PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Dian Rachmawan, seperti dikutip KompasTekno dari IndoTelko, Rabu (27/1/2016), alasan pemblokiran Netflix ialah karena dianggap tidak memenuhi regulasi di Indonesia, seperti memuat konten berbau pornografi. Dian juga mengajukan syarat jika Netflix ingin beroperasi di Indonesia, yakni mereka harus bekerja sama dengan operator, seperti yang dilakukan Netflix di negara-negara lain. “Kalau kerja sama langsung, kita bisa kelola Netflix melalui platform over the top (OTT) yang dimiliki Telkom,” ujarnya. (http://tekno.kompas.com/read/2016/01/27/12271927/ini.alasan.telkom.memblokir.netflix, akses 15 Februari 2015)

Regulasi Belum Adaptif dengan Kebutuhan Riil Masyarakat

Di Indonesia banyak contoh regulasi teknologi komunikasi yang tidak adaptif sekaligus berpotensi mematikan kreativitas anak bangsa. Fenomena yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah kasus trasportasi massal Gojek dan Uber yang di mata undang-undang adalah ilegal sehingga sempat dilarang. Kehadiran Gojek dan Uber dinilai sangat membantu masyarakat akibat ruwetnya transportasi dan kemacetan di perkotaan. Gojek merupakan salah satu perusahaan peranti lunak yang menganut sistem ride-sharing. Layanan ini sama dengan Uber dan GrabBike. Mereka menyediakan aplikasi yang menghubungkan konsumen dengan penyedia jasa transportasi. Teknologi itu sudah lintas disiplin antara perhubungan, transportasi, telekomunikasi. Baik Uber maupun Gojek, keduanya menyebut diri sebagai perusahaan peranti lunak komputer, tetapi punya layanan menghubungkan pengemudi ojek motor atau mobil dengan konsumen. Di sinilah Indonesia belum ada regulasi yang mengatur soal pemanfaatan teknologi hasil kreativitas Start Up untuk menggelar layanan transportasi seperti yang dilakukan oleh perusahaan Gojek Uber, dan GrabBike sehingga pemerintah perlu menyiapkan kerangka peraturan (regulatory framework) terhadap bisnis-bisnis masa depan yang memanfaatkan teknologi informasi.

Fenomena lain adalah kebijakan Balon Google atau Project Loon yang menjadi sorotan aktivis Teknologi Informasi karena dinilai dalam kebijakan tersebut, pemerintah lebih berpihak kepada asing daripada memajaukan potensi lokal. Project Loon adalah salah satu proyek perusahaan raksasa Google untuk menghadirkan jaringan internet di lokasi yang terpencil dengan wahana balon yang berperan layaknya satelit. Project Loon secara sederhana menyerupai Wi-Fi gratis untuk daerah terpencil. Proyek Loon diharapkan bisa memberikan akses internet bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau infrastruktur tradisional.

Balon-balon yang digunakan dalam proyek ini terbang dengan menggunakan tenaga surya. Project Loon berencana memperluas cakupan jaringan internet dunia dengan membuat jaringan Wi-Fi di udara menggunakan balon.

Indonesia mencatatkan diri sebagai negara keempat yang menggunakan balon Google Project Loon untuk penyaluran akses internet di daerah-daerah terpencil. Brasil, Selandia Baru, dan Australia adalah negara-negara yang lebih dulu mendapat manfaat dari balon internet Alphabet tersebut. Namun, uji coba di tiga negara ini hanya dalam skala kecil.Menurut catatan Google, Indonesia akan menjadi negara pertama yang akan mendapatkan uji coba Project Loon dalam skala besar. Caranya dengan menerbangkan balon yang melayang setinggi 20 kilometer dari permukaan laut. Masing-masing memiliki jangkauan radius 40 km, sedangkan menara telekomunikasi selama ini hanya sekitar 5 km.

Onno W Purbo melihat pengggunaaan Balloon Google sebagai kebijakan teknologi yang sah-sah saja diambil pemerintah. Meskpiun ia menilai, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan potensi lokal yang berasal dari dalam negeri.

Ia menambahakan sebagai bentuk upaya memperjuangkan ketimpangan kebijakan ICT di Indonesia yang cenderung memihak industri dan kurang memihak rakyat, Komunitas ICT Indonesia yang terdiri dari Airputih, APJII, ICTWATCH, Forum Demokrasi Digital, Onno Center mengajukan beberapa hal berkaitan dengan teknologi ICT kepada pemerintah agar pemerintah dapat berpihak pada kemajuan bangsa Indonesia, terutama di sektor ICT. Tuntutan tersebut antara lain: 1) Memohon agar pemerintah mengalokasikan kanal/frekuensi  pada band 900MHz dan /atau 1800MHz untuk keperluan sistem telekomunikasi OpenBTS, 2) mengizinkan sistem telekomunikasi OpenBTS dapat dioperasikan oleh komunitas / masyarakat desa/rural, 3) Mengijinkan penelitian OpenBTS agar dapat dilakukan di kampus dan desa, Alokasikan kode area +6252X untuk sistem telekomunikasi OpenBTS, 4) Mengijinkan agar sistem telekomunikasi OpenBTS bekerja dengan database subscriber lokal di softswitch desa/rural.

Penyebab undang-undang komunikasi tidak adaptif di Indonesia secara mendasar berkaitan tiga persoalan utama, yakni: regulasi yang ada belum menjawab tantangan dan kebutuhan terkini di bidang teknologi dan aplikasinya; regulasi belum menjawab kebutuhan riil masyarakat dalam berinteraksi dengan teknologi, serta dan lambatnya regulator merumuskan regulasi baru sehingga lamanya proses penyusunan regulasi ini mengakibatkan ketidakjelasan aturan main.

Regulasi yang adaptif menuntut adanya semangat untuk menjamin konten undang-undang prediktif dan antisipatif atas berbagai perubahan yang akan datang. Untuk mencapai hal tersebut, pengetahuan terkait sistem teknologi dan pelibatan SDM yang kompeten dengan pekerjaan teknologi merupakan hal yang sangat penting. Proses penyusunan undang-undang yang lama terjadi karena proses negosiasi yang berlarut-larut dan tarik menarik kepentingan.

Dalam UU Komunikasi sebaiknya juga tercakup berbagai dimenasi perkembangan dan inovasi dalam dunia bisnis, terutama dalam rangka mengantisipasi tren konvergensi di masa yang akan datang. Bahasan tentang standar dan teknis teknologi tidak perlu sangat detail dituangkan dalam pasal-pasal, namun garis besar tren teknologi dan pengaturan mengenai pemanfaatannya, serta tanggung jawab regulator untuk menajmin aturan main yang sehat antara stakeholders yang terlibat dalam bisnis mapun pemanfaatan teknologi komunikasi.[Iwan Awaluddin Yusuf]

______________

[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Peneliti di Lembaga Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)-Yogyakarta.

[2] Tulisan ini merupakan bagian dari riset penulis bersama peneliti PR2MEDIA yang diterbitkan dalam buku berjudul “Membangun Sistem Komunikasi Indonesia: Terintegrasi, Adaptif dan Demokratis” (2016). Diterbitkan TIFA dan PR2MEDIA.