Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Digitalisasi penyiaran merupakan terminologi untuk menjelaskan proses alih format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital. Secara teknis, digitalisasi adalah proses perubahan segala bentuk informasi (angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) sehingga dimungkinkan adanya manipulasi dan transformasi data (bitstreaming), termasuk penggandaan, pengurangan, maupun penambahan. Semua jenis informasi diperlakukan bukan dalam bentuk asli, tetapi bentuk digital yang sama (byte/bit). Bit ini berupa karakter dengan dua pilihan: 0 dan 1, on dan off, yes dan no, ada informasi atau tidak. Penyederhanaan ini pada akhirnya dapat merangkum aneka bentuk informasi: huruf, suara, gambar, warna, gerak, dan sebagainya sekaligus ke dalam satu format sehingga dapat memproses informasi untuk berbagai keperluan: pengolahan, pengiriman, penyimpanan, penyajian, sekaligus dalam satu perangkat.

Dalam praktiknya, digitalisasi menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakefisienan pada penyiaran analog. Proses teknologi dilakukan untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam berbagai hal, termasuk dalam teknologi penyiaran. Efisiensi dan optimalisasi yang paling nyata dalam penyiaran di antaranya adalah kanal siaran dan infrastruktur penyiaran, seperti menara pemancar, antena, dan saluran transmisi. Di sisi lain, karena format digital kaya akan transformasi data dalam waktu bersamaan, maka digitalisasi televisi dapat meningkatkan resolusi gambar dan suara yang lebih stabil, sehingga kualitas penerimaan oleh pemirsa akan lebih baik. Dengan kata lain, teknologi penyiaran berbasis digital menjanjikan tampilan gambar lebih bersih dan suara yang lebih jernih.

Dalam konteks penyiaran radio, digitalisasi radio berarti menerapkan teknologi radio yang membawa informasi dalam sinyal digital dengan metode modulasi digital. Dalam hal ini umumnya disebut dengan teknologi penyiaran digital audio. Sistem penyiaran radio digital berjalan melalui multiplexing dan kompresi yang menggabungkan sejumlah audio/data stream ke dalam satu kanal penyiaran. Setiap stasiun radio menempati slot di multiplex dengan bit rate yang sama atau berbeda sesuai kebutuhan. Saka dengan televisi, teknologi penyiaran radio berbasis digital menjanjikan suara  yang lebih jernih.

Teknologi multiplexing ini sendiri memungkinkan dilakukannya pelebaran kanal frekuensi . Dalam sistem analog, satu kanal hanya bisa diisi satu frekuensi, sedangkan dalam sistem digital satu kanal bisa diisi dengan lebih dari enam frekuensi sekaligus. Bahkan penyiaran digital mengandaikan satu frekuensi yang digunakan oleh satu stasiun televisi saat ini dapat menawarkan 12 slot siaran. Kondisi ini dimungkinkan karena dalam sistem digital pelebaran frekuensi bisa dilakukan. Berbeda dengan teknologi analog yang memungkinkan hanya satu frekuensi untuk satu slot siaran.

Gelombang radio memliki kaitan erat dengan frekuensi karena salah satu satu penciri gelombang radio dikenal dengan istilah frekuensi. Jika dianalogikan frekuensi memiliki harga atau nilai dari 0 sampai tak terhingga. Peralatan pemancar radio jika memancarkan sinyal akan menempati satu rentang frekuensi tertentu. Jika dikaitkan dengan istilah lebih teknis, frekuensi menempati sebuah rentang, masing-masing rentang ini secara teknis disebut dengan channel/kanal.

Selain peningkatan di sisi kuantitas program siaran yang dapat disalurkan dalam satu kanal frekuensi, teknologi penyiaran digital pun menawarkan keandalan lain di sisi kualitas penerimaan yang jauh lebih baik dibandingkan penyiaran analog serta program siaran yang dapat disalurkanpun lebih bervariasi jenisnya. Yang tidak kalah pentingnya, teknologi penyiaran digital memungkinkan penggunaan menara pemancar bersama untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan. Sehingga akan tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang sangat baik dan penerimaan siaran yang sampai di masyarakat pun akan merata. Televisi digital memudahkan, memanjakan penonton di rumah, stasiun televisi, dan production house, hingga pemerintah.  Penonton dimanja dengan berbagai fasilitas yang belum pernah dinikmati sebelumnya. Fitur picture-in-picture (PIP) mempersingkat langkah pindah-pindah saluran. Telinga dan mata penonton juga dibuai kualitas suara dan gambar bersih dan tajam. Bahkan jika infrastruktur lainnya sudah saling mendukung, menjelajahi Internet juga tidak usah repot-repot menyalakan komputer jika konvergensi Internet dan broadcast sudah sempurna. Untuk stasiun televisi sendiri, penghematan biaya operasional sehari-hari menjadi tujuan utama digitalisasi ini. Mata rantai produksi-distribusi-eksibisi bisa menjadi lebih singkat dan lebih murah.

 

Migrasi: Tak Sekadar Alih Teknologi

Keputusan pemerintah dengan berbagai argumentasi untuk mengadopsi teknologi penyiaran digital menggantikan teknologi televisi analog, secara logis memang dapat dipahami. Namun demikian, migrasi teknologi analog menuju digital tidak dapat dilaksanakan secara terburu-buru tanpa persiapan matang. Transisi ini dalam praktiknya sangat terkait dengan kesiapan infrastruktur dan aspek nonteknologis seperti kondisi sosial-ekonomi-literasi masyarakat, serta payung regulasi yang memadai sehingga semua yang berkepentingan, baik pemerintah, perusahaan siaran, dan terutama masyarakat agar tidak dirugikan.

Fokus utama yang sangat menentukan berhasil tidaknya digitalisasi penyiaran adalah proses migrasi dari analog menuju digital. Migrasi dalam proses digitalisasi penyiaran meliputi beberapa aspek, yakni (1) kebijakan simulcast dan switch off (atau alternatifnya: tidak harus total switch off), (2) mekanisme sosialisasi, (3) pengadaan set-top-box, (4) ketersediaan pusat layanan informasi, dan (5) kejelasan regulasi sebagai aturan main bila terjadi pelanggaran selama proses migrasi. Beberapa aspek migrasi tersebut diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, kebijakan simulcast dan switch off. Pelaksanaan migrasi analog ke digital umumnya dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap “simulcast” (siaran TV analog dan digital disiarkan bersama-sama) dan tahap ”switch off” (siaran TV analog dihentikan secara total). Tahap simulcast bertujuan mempersiapkan masyarakat agar secara bertahap menggunakan alat bantu penerima siaran TV digital (set-top box/STB) atau sekaligus menggunakan pesawat TV digital, dan kepada Lembaga Penyiaran untuk mengalihkan siarannya dari analog ke digital. Pada masa simulcast ini, siaran analog dan digital dapat diterima bersama-sama.

Kebijakan simulcast ini harus memperhatikan kecukupan waktu. Lama jangka waktu simulcast harus dibedakan antara daerah “ekonomi maju” dan daerah “ekonomi kurang maju” sehingga dapat ditinjau kembali sesuai kesiapan masyarakat dan penyelenggara, sehingga jika pada akhirnya TV analog dapat dihentikan secara total, tidak menimbulkan kesenjangan baru. Bahkan jika masyarakat belum sepenuhnya siap, perlu dibuka kemungkinan lain, yakni tidak harus dilakukan total switch off pada televisi analog. Dengan demikian perlu dikaji alternatif yang bisa dikembangkan selain semata-mata arah menuju total switch off, tentunya dengan melihat kondisi masyarakat di lapangan yang tersebar di seluruh wilayah dengan potensi literasi teknologi yang tidak seragam. Apabila pilihannya hanya dilakukan penghentian secara total siaran analog pada tahun tertentu, sebagaimana roadmap Kominfo yang mengharusnkan total switch of tahun 2018, dikhwatirkan setelah ”analog switch off” dan ternyata masih ada kelompok masyarakat di pedalaman yang tidak terjangkau digitalisasi, akibatknya komunitas tersebut sama sekali tidak dapat menerima siaran televisi. Padahal penyiaran adalah hak seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki deadline switch off yang jelas, sebagai perbandingan Canada misalnya lebih fleksibel dalam merencanakan switch off dari analog ke digital. Tidak ada deadline bagi stasiun televisi yang menggunakan pemancar analog bertenaga rendah (low power analog transmitter) dan juga stasiun televisi di luar 28 stasiun yang dimandatkan oleh the Canadian Radio-television and Telecommunications Commission (CRTC). Adapun deadline switch off bagi 28 stasiun yang dimandatkan adalah 31 Agustus 2011.

Dua puluh delapan stasiun yang dimandatkan untuk segera beralih ke penyiaran digital adalah stasiun yang bersiaran di wilayah ibu kota negara dan ibu kota provinsi, stasiun yang target pasarnya dilayani oleh berbagai stasiun, serta stasiun memiliki pasar dengan populasi di atas 300.000 (lihat http://www.crtc.gc.ca/eng/archive/2009/2009-406.htm).

Dalam proses transisi dari analog ke digital, pemerintah Canada memiliki kebijakan yang berbeda dengan pemerintah Amerika Serikat. Jika di Amerika Serikat, pemerintah mendorong percepatan switch off dengan memberikan bantuan kepada broadcaster untuk pengadaan peralatan digital, memberikan subsidi bagi penduduk untuk pengadaan converter box, dan juga melakukan kampanye digitalisasi dan memberikan informasi kepada publik tentang rencana switch off, maka di Canada, pemerintah sebatas membangun web portal (bernama: Canada’s Transition to Digital Television (DTV)) untuk memberikan informasi kepada publik dan menayangkan iklan tentang televisi digital di sejumlah media massa. Di negara ini pengapdopsian teknologi digital lebih bersifat sukarela. Sebagian besar broadcaster masih memandang bahwa transisi ke digital berbiaya tinggi dan belum melihat dengan jelas sisi keuntungannya.

Kedua, sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi mengenai rencana digitaliasi penyiaran dan penghentian siaran TV analog harus terus menerus dilakukan hingga masyarakat benar-benar siap, sampai masa cut off siaran TV analog. Digitalisasi adalah proses migrasi yang tidak hanya melibatkan teknologi, melainkan perubahan cara berpikir (mindset) terhadap berbagai aspek yang lahir dari teknologi tersebut, maka sosialisasi perlu dilakukan secara intensif melalui publikasi dan publisitas di berbagai media, iklan layanan masyarakat, penyuluhan ke sekolah-sekolah, dealer-dealer/toko-toko pesawat penerima TV, dan berbagai saluran yang memungkinkan. Dengan cara sosialisasi yang intensif, diharapkan masyarakat dapat memahami digitalisasi penyiaran, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menerima/menikmati siaran TV digital, dan juga memahami bahwa dalam jangka waktu tertentu, siaran TV Analog akan dihentikan.

Pusat-pusat bantuan masyarakat atau ”call center” dengan nomor yang jelas dan mudah dihubungi perlu disediakan oleh semua stakeholder: pemerintah, industri penyiaran, industri STB dan dealernya. Tujuannya tak lain agar migrasi dapat berjalan secara adil dengan kerugian seminimal mungkin bagi masyarakat dan industri. Pusat bantuan pemirsa perlu disiapkan dengan tujuan memberikan pelayanan dan bantuan secara aktif kepada masyarakat yang mengalami kesulitan dalam berbagai hal teknis yang berkaitan dengan sistem penyiaran digital.

Ketiga, kebijakan teknologi. Dalam pelaksanaan siaran digital, diperlukan teknologi bernama Set Top Box, yakni sebuah perangkat tambahan berupa rangkaian konverter untuk menerima sinyal digital yang dipancarkan oleh sistem DVB-T2 (sistem terbaru yang diadopsi pemerintah) yang kemudian diubah ke dalam sinyal analog agar dapat ditampilkan pada monitor TV analog.

Selama masa transisi, masyarakat dapat menikmati siaran televisi digital dengan alat bantu penerima yang dihubungkan ke pesawat penerima TV analog yang telah dimiliki. Konsekuensinya, masyarakat yang menggunakan televisi analog seperti sekarang, mau tidak mau harus mengeluarkan biaya ekstra untuk untuk membeli set top box atau membeli televisi digital, sementara digitalisasi ini di satu sisi bukan kemauan masyarakat, sehingga perlu dipikirkan mekanisme untuk membantu masyarakat sehingga tidak membebani, bahkan menghambat program digitalisasi. Dalam kaitan ini, pemerintah perlu membantu masyarakat yang tidak mampu membeli perangkat televisi digital dengan mengupayakan insentif harga untuk set top box.

Ketimpangan sosial-ekonomi yang tinggi di Indonesia perlu dicermati sebelum menyongsong era digitalisasi penyiaran. Regulator perlu mencontoh negara lain dalam proses migrasi ini. Misalnya langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat yang bersedia mendanai perangkat set top box bagi masyarakat yang tidak mampu.

Pemerintah perlu mendorong penyediaan STB dan alat penerimaan lain dengan harga terjangkau dan mudah diperoleh. Pemerintah akan melakukan tindakan penanggulangan terhadap keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga tidak bisa mendapatkan akses ke televisi digital.

Dari segi infrastruktur, digitalisasi penyiaran membutuhkan berbagai persiapan seperti peralatan teknis dan program siaran yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Hadirnya teknologi baru ini jangan sampai hanya menjadi “karpet merah” bagi pemodal asing yang memiliki kapasitas modal dan teknologi lebih unggul. Digitalisasi ini hendaknya menjadi momentum untuk membangkitkan dan menata teknologi nasional.

Industri dalam negeri seharusnya dikondisikan untuk siap untuk mendukung migrasi sistem penyiaran dari sistem analog ke sistem digital. Pemerintah harus mendorong agar industri dalam negeri dapat memproduksi STB standar dengan harga terjangkau oleh masyarakat.

Industri dalam negeri saat ini sesungguhnya telah mampu mendesain, merekayasa, dan memproduksi STB dengan harga terjangkau. Industri dalam negeri juga telah mampu memproduksi konten, bahkan untuk industri konten, Dengan migrasi analog ke digital diharapkan kualitas dan kuantitas konten yang dihasilkan dapat terus ditingkatkan dan tidak menutup kemungkinan dipasarkan ke luar negeri. Selain hardware, Industri dalam negeri harus mampu membuat perangkat lunak aplikasi layanan (software) yang diperlukan untuk membangun sistem penyiaran digital.

Di sinilah perlu kebijakan teknologi karena pertimbangan bahwa teknologi memiliki posisi strategis dan membawa nilai-nilai tertentu. Arah kebijakan teknologi adalah untuk mengantisipasi teknologi dan tuntutan global yang sesuai standardisasi yang ditetapkan oleh standard nasional/internasional, dan mendorong pertumbuhan produksi perangkat infrastruktur penyiaran buatan dalam negeri. (Iwan Awaluddin Yusuf)


*)  Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media & Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta, dan aktivis Pemantau Regulasi dan Regulator media (PR2MEDIA), Yogyakarta.