Iwan Awaluddin Yusuf[1]

A Hollywood producer

A Washington spin-doctor

When they get together

They can make you believe anytihing

Tak ada yang lebih menarik dari film ini kecuali ledakan ide yang disajikan secara lugas dan penuh sindiran tajam. Mengusung tema fenomenal seputar pemilihan presiden di Amerika, Wag the Dog bertutur tentang keberhasilan proyek rekayasa fakta-sosial yang dilakukan Conrad Brean (Robert DeNiro), spin-doctor kepresidenan AS yang berkolaborasi dengan Stanley Moss (Dustin Hoffman), seorang produser film Hollywood.

Walaupun bukan tergolong film box office yang menghasilkan pundi-pundi dolar, setidaknya kehadiran film ini mampu mengajak masyarakat dunia untuk berpikir ulang terhadap makna “kebenaran” yang selama ini terdistorsi oleh berbagai kepentingan politis. Wag The Dog ingin menegaskan ulang bahwa dalam dunia politik, tak pernah ada suatu term bernama kebenaran. Kalaupun ada, kebenaran itu tetaplah selalu menjadi bagian dari kekotoran dan manipulasi kepentingan.

Film berdurasi 95 menit ini sepenuhnya berkisah tentang hari-hari terakhir menjelang  proses pemilihan presiden AS. Tepatnya sejak sebelas hari sebelum peristiwa bersejarah itu berlangsung. Diketahui, presiden diguncang isu skandal seks yang menghebohkan warga AS, padahal sebelum isu tersebut mencuat ke permukaan, dukungan bulat nyaris tertuju padanya. Perlahan-lahan reputasi Sang Presiden memburuk dan simpati mulai berkurang.

Namun sebelum keadaan bertambah parah dan opini publik tentang aib presiden semakin kuat, Conrad Brean (Robert De Niro), spin-doctor Sang Presiden yang berotak brilian segera menyusun skenario bagaimanan menciptakan rekayasa isu yang lebih besar sehingga menutupi skandal yang dilakukan presiden.

Akhirnya dengan bantuan Stanley Moss-produser film Hollywood yang ambisius dan tergolong senior-, terciptalah skenario perang Albania. Tanpa dilandasi alasan yang jelas tentang pemilihan negara Albania sebagai objek perang Amerika, studio film ternyata mampu menyajikan rekayasa rekaman peristiwa yang disebut “Krisis Albnia” secara sempurna. Tampak dalam gambar yang diarkan televisi nasional tersebut (visualisasi CNN), seorang gadis (diperankan Kirsten Dunst) bersama kucingya tengah kepayahan menyelamatkan diri dari serangan membabi buta terhadap perkampungan penduduk Albania. Setelah film pendek tersebut ditayangkan di televisi sebagai Newsbreaks Special Report, efeknya sungguh luar biasa. Serta merta kasus skandal presiden bagai tertelan bumi. Perhatian publik AS, bahkan masyarakat dunia beralih pada Krisis Albania.

Layaknya produk Hollywood pada umumnya, keberhasilan rekayasa itu juga tak lepas dari peran dan strategi propaganda yang diwujudkan melaui jargon, merchandising, bahkan theme song tentang perdamaian a la AS. Namun demikian, medialah yang pada intinya tetap memegang peran sentral di balik kehebatan sang sutradara dan spin-doctor.

Alur film terus memuncak, saat pemilihan presiden semakin dekat, mendadak skenario perang berubah total. Presiden mengumumkan bahwa perang telah usai. Padahal fakta yang ada, berakhirnya perang rekayasa ini tak lain akibat kekhawatiran presiden atas keterlibatan CIA terhadap pencarian informasi dan data rekaman peristiwa yang diliput media itu.

Agar dukungan publik AS terhadap presiden tetap kuat, lahirlah skenario kedua bertema “sepatu tua yang terlupakan”. Dengan media lagu “Old Shoe” yang dipopulerkan lewat media, sekali lagi presiden bertujuan membentuk opini masyarakat terhadap romantisme perang yang (tiba-tiba) mencuatkan nama seorang pahlawan perang yang terlupakan. Unik, efek yang ditimbulkan bahkan lebih hebat dibanding sebelumnya. Demikian skenario demi skenario terus dibuat sesuai kondisi dan tujuan jangka pendek. Norma dan etika kebenaran tampaknya terabaikan seolah tanpa beban.

Di akhir cerita, naluri kemanusiaan Stanley sebagai pekerja seni yang ingin mendapat pengakuan ternyata muncul. Keberhasilan pembuatan rekayasa fakta sosial yang dibuatnya ingin diklaim sebagai hasil karyanya yang luar biasa dan layak diketahui publik. Tentu saja ambisi ini ditolak keras oleh Brean. Walhasil, nyawa Stanleylah yang menjadi taruhan. Lagi-lagi politik tetap berkuasa dengan kekotoran dan kekejamannya.

Bila ditilik dari perspektif komunikasi politik, film  Wag the Dog memunculkan paling tidak tiga pertanyaan yang bisa dianalisis dengan relevansi teori-teori komunikasi. Pertama. Di mata masyarakat kejadian demi kejadian yang direkayasa lewat media tersebut seolah-olah betul terjadi seperti apa adanya. Publik terlalu percaya sedemikian rupa terhadap informasi media, tanpa pernah berusaha berkontemplasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di balik proses “pembuatan” berita tersebut. Di sisi lain, sebagai the fourth estate atau pilar keempat dalam demokrasi, seharusnya pers (baca: media) menjunjung etika dan profesionalisme. Jika nilai-nilai tersebut sudah dilanggar demi kepentingan politik penguasa. Lalu di mana fungsi dasar media? Kedua, propaganda apa yang dilancarkan spin doctor tersebut sehingga manipulasi informasi sedemikian kuatnya mempengaruhi opini khalayak? Ketiga, belajar dari konteks historis, apakah kejadian dalam Wag the Dog merupakan sesuatu yang baru terjadi atau lazim dalam kancah politik? Tak perlu jauh-jauh ke Amerika sana…Rekayasa semacam itu sudah ada dan (sering) terjadi di Indonesia. Yang mana? silakan daftar sendiri faktanya. hehe…

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Judul : Wag the Dog

Sutradara : Barry Levinson

Editor : Stu Linder

Pemain: Dustin Hoffman (Stanley Moss), Robert DeNiro (Conrad Brean), Anne Heche (Winifred Ames), Denis Leary (Fad King), Kirsten Dunst (Tracy Lime), Craig T Nielsen (Senator Neal), Andrea Matin (Liz Butsky), Suzie Plackson (Grace).

Produksi : New Line Cinema, 1997


[1] Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Peneliti di PKMBP dan PR2MEDIA Yogyakarta.