Foto ini saya ambil di Bogyoke, Aung San Market Myanmar, 2012. Bahasa sebagai media verbal seringkali lucu jika berbeda makna dalam komunikasi antarbudaya :)
Foto ini saya ambil di Bogyoke, Aung San Market Myanmar, 2012. Bahasa sebagai media verbal seringkali lucu jika berbeda makna dalam komunikasi antarbudaya :)

Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Dalam buku klasik “The Feminine Mystique” yang ditulis oleh Betty Friedan pada tahun 1963, masyarakat Amerika dikejutkan dengan sebuah gugatan tentang “the problem that has no name”—masalah tak bernama—, yakni ketidakbahagiaan perempuan Amerika paska Perang Dunia II dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga yang berkutat dengan tugas-tugas dosmestik, relatif mapan secara ekonomi, namun terus-menerus menjadi sasaran empuk industri. Buku yang didasarkan pada hasil penelitian disiplin ilmu psikologi ini sering dianggap sebagai dasar gerakan feminisme liberal atau feminisme gelombang kedua di Amerika yang imbasnya meluas ke seluruh dunia. Salah satu temuan yang dianggap Friedan meresahkan adalah posisi perempuan dalam masyarkat industri yang cenderung diperalat oleh iklan-iklan komersial, yakni secara sengaja dan membabi buta digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang identik dengan kebiasaan belanja.

Seiring dengan menjamurnya media massa yang mendorong tumbuhnya industri periklanan, citra perempuan dalam iklan tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Iklan cenderung dibangun atas realitasnya sendiri, dari eksplorasi terhadap kebutuhan perempuan sebagai subjek dan objek periklanan, menjadi eksploitasi nilai-nilai dengan konstruksi manipulatif atas keadaan perempuan yang sebenarnya. Dalam unsur verbal dan visual misalnya, konstruksi makna sebagai ekspresi cita rasa ideal untuk perempuan, lebih banyak ditampilkan sebagai tanda dari simbol-simbol tertentu yang bersifat stereotip seperti keanggunan, kelembutan, ketekunan, kepatuhan, dan keibuan. Karakter ini pada akhirnya menentukan standar kecantikan perempuan yang ironisnya justru lebih banyak ditentukan oleh ukuran fisik karena bisa menghubungkan konsumen dengan produk.

Lebih lanjut iklan yang muncul didasarkan pada permainan simbol-simbol tersebut tidak lagi menggambarkan nilai guna, bahkan seringkali tidak relevan dengan komoditas yang dijual. Dengan seluruh karakter yang bisa dieksploitasi, perempuan ditampilkan dalam iklan dengan kecantikan, kemolekan tubuh, dan simbolisasi seks. Contoh iklan “tidak nyambung” yang bertebaran di media massa Indonesia antara lain cairan pembersih mobil, rokok, minuman, dan pompa air. Di sisi lain, iklan tertentu selalu diidentikkan dengan perempuan, padahal laki-laki juga merupakan konsumen yang sama besar dari produk tersebut, misalnya sabun mandi, subjek dan objek iklanya monoton hanya menampilkan perempuan.

Sebagaimana fungsi dasarnya, iklan yang baik adalah iklan yang mampu berkomunikasi dengan kebudayaan (Frith, 2010). Melihat persoalan eksploitasi perempuan dalam iklan sebagaiana pemaparan di awal tulisan ini, pertanyaannya adalah apakah iklan-iklan bias gender tersebut bekerja tidak sesuai dengan budaya atau justru merefleksikan budaya masyarakat kita yang sesungguhnya?

Dalam kaitan ini, persoalan gender harus dilihat pada dua ranah, yakni proses presentasi dan representasi. Proses presentasi terjadi dalam praksis kehidupan sehari-hari, sedangkan representasi tampak dari apa yang disajikan dan dicitrakan lewat media massa dengan semua produk turunannya, salah satunya adalah iklan.

Reaktualisasi persoalan gender dalam media selalu diawali dengan melihat kembali fungsi dasar media yang bertugas mensinkronkan gambaran alam pikiran khalayak dengan realitas yang terjadi di luar benak khalayak. Media dengan segala kemampuannya akan merekonstruksi realitas, sehingga apa yang ditampilkan oleh media tanpa disadari diterima sebagai suatu kondisi alamiah (natural). Celakanya, saat ini media massa cenderung menempatkan jaringan produksi dan distribusi produk-produk budaya tersebut ke dalam prinsip pasar (market). Akibatnya, media sebagai bagian dari pusaran industri mengikuti arus komersialisasi secara membabi-buta. Kekuatan bisnis industri media lebih sering menonjolkan kepentingan pasar daripada aspek intelektual-profesional media (Siregar, 2002; Yusuf, 2004).

Eksploitasi perempuan dalam iklan yang yang kapitalistik ini besinergi sempurna dalam budaya dan sistem patriarki. Budaya ini, oleh Mies (dalam May Lan, 2002) dianggap sebagai suatu sistem nilai yang menempatkan kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan. Walby (dalam May Lan, 2002) menggarisbawahi bahwa patriarki adalah sistem struktur dan praktik sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai pihak yang mendominasi dan mengeksploitasi kaum perempuan. Di Indonesia, sistem patriarki sendiri dilegitimasi secara sempurna oleh sisa-sisa budaya feodalisme. Paham yang menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis. Posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh dan perempuan berada dalam posisi subordinat. Nilai patriarki juga terefleksikan dari pola kehidupan antara perempuan dan laki-laki dalam suatu negara. Jika hubungan itu bersifat asimetris, bisa dipastikan masyarakatnya masih berada dalam sistem patriarkis.

Sebagai kebudayaan, patriarki bukanlah sebuah kebenaran, melainkan kebiasaan dan pengkondisian karena masyarakat telah terbiasa untuk hidup di bawah tata nilai yang tak setara (Wolf, 1997). Sebagai sebuah sistem, patriarki memiliki dua bentuk: patriarki domestik dan patriarki publik. Patriarki domestik menitikberatkan kerja dalam rumah tangga sebagai suatu bentuk stereotip yang melekat pada kaum perempuan. Ketika perempuan terkondisikan untuk dilekati berbagai tugas dan peran rumah tangga, maka sebenarnya telah terjadi “penindasan” terhadap perempuan. Penindasan itu semakin parah dengan pengucilan yang dilakukan masyarakat jika perempuan mencoba keluar dari stereotip itu.

Sementara, patriarki publik berasal dari sistem yang terbentuk di tempat kerja dan dalam pemerintahan/negara. Dalam hal ini, keterpurukan perempuan tidak semata-mata ditentukan oleh peran-peran domestik yang harus diemban, tetapi perempuan sudah mulai mengenal posisinya di ranah publik. Inilah yang kemudian dihembuskan secara terstruktur oleh pemerintahan Orde Baru sebagai sebuah ‘peran ganda perempuan’. Penindasan yang terjadi pada kaum perempuan kemudian bersifat kolektif, didukung oleh strategi segregasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan (Utami, 2008).

Menurut Marla (dalam May Lan, 2002), budaya patriarki ini merembes ke berbagai dimensi kehidupan masyarakat, termasuk media massa. Media massa yang seharusnya menjadi reflektor bagi ketidakadilan ini justru melegitimasi praktik ketidakadilan gender dengan berita, iklan, kuis, film, dan produk media lainnya yang sangat bias (gender).

Kompleksitas persoalan ketidakadilan gender memang tidak semata-mata harus selalu dikait-kaitkan dengan media atau budaya patriarki yang sudah mengakar, namun meliputi pelik-kelindan masalah kontemporer ekonomi, politik, sosial, dan budaya, bahkan agama. Aspek tersebut menyelimuti praktik kerja media pada tataran makro, meso, dan ujungnya bisa dipotret lewat produk akhir media (mikro), salah satunya iklan. Oleh karena itu, iklan tidak bisa lagi hanya dilihat sebagai alat untuk menyebarkan informasi tentang produk/komoditas atau membujuk calon konsumennya untuk membeli, melainkan sebagai sebuah medan wacana, tempat imajinasi sosial dan nilai-nilai kesetaraan atau ketidaksetaraan gender dikonstruksi, direkonstruksi, diproduksi, dan direproduksi.

__________________________________________________________________________________________

[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (Pr2MEDIA) Yogyakarta.