Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Pendahuluan

Kelahiran Undang-undang Pers No. 40/1999 dan Undang-undang Penyiaran No. 32/2002 telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di tanah air, terutama berkaitan dengan kebebasan memperoleh dan menyebarluaskan informasi. Salah satu indikator dari adanya kebebasan tersebut yang paling nyata ditandai dengan peningkatan jumlah penerbitan media cetak. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Pembinaan Pers (23 September 1999), jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi surat kabar, tabloid, majalah dan bulletin mencapai 1.687. Dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang ada hanya 289. Ini berarti hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan yang ada pada tahun 1999. Demikian halnya dengan televisi dan radio, juga menunjukkan peningkatan jumlah yang signifikan, apalagi dengan munculnya televisi-televisi lokal dan radio komunitas yang marak di berbagai daerah.

Berlakunya kedua UU di atas tidak hanya berimbas pada banyaknya media-media baru yang muncul, namun juga memberikan kebebasan bagi para pengelola media massa dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya. Para pekerja media massa memiliki kebebasan dalam mencari (gathering), mengolah (writing/news editing) dan menyajikan (presenting) produk-produk media massa, baik berupa berita maupun hiburan.

Sayangnya, kondisi tersebut tidak selalu berekses positif. Kebebasan informasi tidak diikuti dengan peningkatan upaya profesional untuk memegang teguh kepercayaan masyarakat (audiens). Beberapa media yang muncul dalam semangat kebebasan tersebut justru hanya menampilkan informasi yang bias, banal, bombastis, cenderung terbatas pada taraf pengungkapkan konflik, dan yang penting ”asal laku dijual”, seperti pornografi, sensasi, kekerasan, dan skandal lewat munculnya media-media kriminal bergenre jurnalisme kuning.

Kemunkaran di televisi juga marak disuguhkan seolah tanpa rambu dan aturan. Sekadar contoh, fenomena trakhir bisa diamati dari banyaknya tayangan infotainment yang jelas-jelas tidak lebih dari perilaku ghibah (bergunjing). Televisi juga rajin menyuguhkan tayangan kekerasan, dari paket acara berita kriminal hingga tayangan berkedok olahraga seperti Smackdown atau Ultimate Fighting Championship yang telah memakan banyak korban. Terkait dengan tayangan kekerasan di televisi ini, Milton Chen seorang pendidik dan pemerhati televisi pernah menulis artikel dengan judul yang sangat impresif: ”Anda Ingin Menyaksikan Pembunuhan? Hidupkan televisi: Pelayanan 24 Jam!”.

Akbar S Akhmed mengidentikkan perilaku media dan praktisi di belakangnya sebagai “iblis” di zaman ini. Mereka ada di mana-mana dan menghemoni segala bentuk informasi. Jurnalis dan medianya bisa dengan mudah membuat gambaran dengan citra yang diinginkan, sesuai dengan agenda yang diusungnya (Akbar, 1992: 231).

Dari kenyataan seperti itulah, kebebasan yang bergulir dalam ranah media massa disinyalir sebagai kebebasan yang “kebablasan”. Kondisi ini jika ditarik pada garis religusitas, sangat jauh dari nilai-nilai Islami. Pada tataran yang lebih luas—baik ideologis maupun praktis—, komunikasi yang disampakan lewat pemberitaan oleh pengelola media akan selalu memberikan pengaruh atau dampak terhadap masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Dampak negatif yang timbul dari komunikasi massa, tentu bukan hal diinginkan atau dimaksudkan oleh pengelola media. Namun dalam realitasnya, saat ini para pengelola media dan jurnalis justru melupakan kunci agar bisa “safe” menjalankan profesinya, baik keselamatan di dunia maupun akhirat. Kunci tersebut adalah etika yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam menjelaskan etika sebagai ahlak. Ahlak merupakan puncak dan inti ajaran Islam sebagaimana fungsi diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT yang tidak lain adalah menyempurnakan ahlak manusia.

 

Pengertian Jurnalisme Dakwah

Lanskap bermedia yang ada di Indonesia saat ini menunjukkan ironi, bagaimana tidak, kebanyakan para wartawan yang menulis berita atau memproduksi acara-acara televisi yang tidak mendidik tersebut menyandang predikat muslim. Jangankan mendekati perilaku sesuai tuntutan ahlak Qur’ani, untuk memenuhi standar kelayakan jurnalistik yang elementer (umum dan mendasar) seperti objektivitas, netralitas, completeness, balance, fairness, impartialitas, akurasi (Hohhenberg, 1978; Mencher, 1996; Burns: 2000; Fink; 1998), banyak wartawan yang melanggarnya. Artinya, secara universal pun, mereka melanggar kaidah-kaidah jurnalistik konvensional dan integritas profesi yang mutlak harus dipenuhi. Inilah katastopik yang terjadi jika bekal ahlakul karimah tidak dimiliki sejak dini.

Jurnalistik Islami adalah Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis muslim, yakni wartawan dan penulis yang beragam Islam berkewajiban menjadikan Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam (Muis, 2001; Amir,1999). Di sisi lain dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap muslim.

Romli (2003) mendefinisikan Jurnalisme dakwah adalah proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan nilai-nilai Islam. Suf Kasman (2004) memberi definisi yang lebih lengkap untuk Jurnalisme Dakwah, yaitu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan norma-norma yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendapat ini sejalan dengan Malik (1984) yang mendefinisikan Jurnalisme Dakwah sebagai proses meliput, mengolah, dan menyebarkan berbagai peristiwa yang menyangkut umat Islam dan ajaran Islam kepada khalayak, crusade journalism yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam.

 

 

Definisi yang lebih luas demukakan oleh Emha Ainun Najib (dalam Kasman, 2004: 20). Menurutnya, Jurnalistik Islami adalah teknologi dan sosialisasi informasi dalam kegitan penerbitan tulisan yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam.

Dalam konteks pendidikan jurnalisme, wartawan muslim dilihat sebagai sosok juru dakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah bil qolam. Ia menjadi khalifah (wakil) Allah di dunia media massa dengan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai, norma, etika, dan syariat Islam. Ia memiliki tanggung jawab profetik Islam: mengupayakan agar ajaran Islam tetap dan selalu fungsional serta aktual dalam kehidupan. Jurnalis muslim tidak boleh tinggal diam beritu saja jika melihat ada kemunkaran dalam dunia yang digelutinya, misalnya menyaksikan pencitraan yang negatif tentang Islam atau ada rekayasa yang memojokkan Islam dan umatnya di media massa, maka jurnalis muslim harus membela dan meluruskan sesuai dengan fakta (Romli, 2003).

Sebagai juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi, jurnalis muslim bagaikan “penyambung lidah” pada nabi dan ulama. Karena itu ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Penjelasan aplikasi sifat-sifat tersebut dalam ranah kerja jurnalis dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.  Sifat Kenabian bagi Jurnalis Muslim

No Sifat Kenabian Penjelasan
1 Shiddiq Al-shidq mengacu kepada pengertian jujur dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, shiddiq adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
2 Amanah Artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta.
3 Tabligh Artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, bukan malah memutarbalikkan kebenaran.
4 Fathonah Artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad SAW (prophetic intelligence)

Sumber: Romli (2003: 38-39)

Dalam skala yang lebih luas jurnalis muslim bukan saja berarti para wartawan yang beragama Islam dan commited dengan ajaran agamanya, melainkan juga cendekiawan muslim, ulama, mubalig yang cakap bekerja di media massa dan memiliki setidaknya lima peranan (Romli, 2003: 39-41):

Pertama, Sebagai pendidik (muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran agama Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia berperan mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya dan menajuhi larangan-Nya. Ia memikul tugas untuk mencegah umat Islam melenceng dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa nonIslami yang antiIslam.

Kedua, Sebagai pelurus informasi (musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para wartawan muslim. (1) informasi tentang ajaran dan umat Islam, (2) informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam, (3) jurnalis muslim hendaknya mampu menggali (dengan investigative reporting) tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran musaddid terasa relevan dan penting mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers barat biasanya bias (menyimpang dan berat sebelah), distorsif, manipulatif, penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang notabene tidak disukainya. Di sini, jurnalis muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) dari propaganda pers barat yang anti-Islam.

Ketiga, Sebagai pembaharu (mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Wartawan muslim hendaknya menjadi juru bicara para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme yang tidak sesuai ajaran Islam), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.

Keempat, Sebagai pemersatu (muwahid), yaitu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi) harus ditegakkan. Wartawan muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian (berpihak sebelah pada golongan tertentu).

Kelima, Sebagai pejuang (mujahid), yaitu pejuang-pejuang pembela Islam. Melalui media massa, wartawan muslim berusaha keras mendorong penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra lslam sebagai rahmatan lilalamin.

 

Akhlak dan Kode Etik Jurnalis Muslim

Dalam ranah praktis, jurnalis juga dituntut memiliki kemampuan teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam Al-Qur’an. Hal ini menurut Romli (2003) dan Amir (1999) tercermin dalam berbagai bentuk ahlakul karimah, antara lain: (1) Menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30); (2)  Bijaksana, penuh nasihat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman objek pembaca harus dipahami sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS. An-Nahl: 125); (3).  Meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku berita yang akan ditulis, jurnalis muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah (QS. Al-Hujarat: 6); (4). Tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11); dan (5) Menghindari prasangka/su’udzon. Dalam pengertian hukum, jurnalis hendaknya memegang teguh “asas prduga tak bersalah”.

Selain poin-poin di atas masih, beberapa pedoman ahlak Qur’ani yang wajib diperhatikan bagi seorang muslim yang berprofesi sebagai wartawan atau praktisi media adalah sebagai berikut

Pertama, dalam menyampaikan informasi, waratawan muslim hendaknya melandasi dengan iktikad atau niat yang tinggi untuk senantiasa melakukan pengecekan kepada pihak-pihak yang bersangkutan sehingga tidak akan merugikan siapapun.

Kedua, ketika menyampaikan karyanya, wartawan muslim hendaknya menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam gaya bahasa yang santun dan bijaksana. Dengan demikian apa yang disampaikannya akan dapat dimengerti, dirasakan, dan menjadi hikmat bagi khalayak.

Ketiga, dalam melaksanakan tugas jurnalistik, hendaknya wartawan muslim melaksanakannya secara profesional dalam ikatan kerja yang produktif, sehingga karyanya akan memiliki hasil yang optimal dan adil untuk semua pihak sehingga ia  akan dipandang sebagai aset utama perusahaan media.

Keempat, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, wartawan muslim hendaknya menghindarkan sejauh mungkin prasangka maupun pemikiran negatif sebelum menemukan kenyataan objektif berdasarkan pertimbangan yang adil dan berimbang dan diputuskan oleh pihak yang berwenang.

Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, wartawan muslim hendaknya senantiasa dilandasi  etika Islam dan gemar melakukan aktivitas sosial yang bermanfaat bagi umat. Wartawan muslim sudah seharusnya selalu memperkaya wawasan keislamannya untuk meningkatkan amal ibadah sehari-hari.

Keenam, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya menjunjung tinggi asas kejujuran, kedisplinan dan selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang akan merusak profesionalisme dan nama baik perusahaannya. Komitmen yang tinggi seyogyanya diberikan pada profesionalisme dan bukan ikatan primordialisme sempit.

Ketujuh, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya senantiasa mempererat persaudaraan sesama profesi berdasarkan prinsip ukhuwah Islamiyah tanpa harus meninggalkan asas kompetisi sehat yang menajdi tututan perusahaan media massa modern.

Kedelapan, dalam melaksanakan tugasnya, waratwan muslim hendaknya menyadari betul bahwa akibat dari karyanya akan memiliki pengaruh yang luas terhadap khalayak. Karena itu, hendaknya semua kegiatan jurnalistiknya ditujukan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif dalam rangka pendidikan dan penerangan umat.

Kesembilan, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya menyadari dengan penuh kesadaran memahami banwa profesinya merupakan amanat Allah, umat dan perusahaan media. Karena itu wartawan muslim hendaknya selalau siap mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah, umat dan perusahaannya.

Kesepuluh, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan muslim hendaknya selalu berkata atau menulis dengan prinsip-prinsip berbahasa yang diajarkan Al-Quran, yaitu qaulan ma’rufan (pantas), qaulan kariman (mulia), qaulan masyura (mudah dicerna), qaulan balighan (efektif/mengena), dan qaulan layyinan (lemah lembut).

Problematika Jurnalisme Dakwah

Jika ditelaah secara historis, terdapat banyak persoalan yang menyebabkan pers Islam selalau tertinggal dengan pers umum, salah satunya adalah “punah” nya pendidikan jurnalisme dakwah di lingkungan kampus. Padahal Jika berkaca pada sejarah, pers Islam sebenarnya pernah tumbuh pesat dan berkembang luas di tanah air. Kejayaan pers Islam puncaknya justru terjadi di awal masa pergerakan kemerdekaan. Kejayaan pers Islam dapat dilihat dari kiprah dan nama media-media besar yang dapat dilihat dalam tabel berikut:

 

Tabel 2. Perkembangan Media Cetak Berbasis Dakwah di Indonesia

Awal 1900-an

1930-an 1945-an sampai sekarang
•Majalah Al-Munir (1911)•Munirul Manar

•Al-Itfaq Wal Iftiraq

(Padang Panjang)

•Al-Basyir (Padang

Panjang)

•Al-Imam (Payakumbuh)

•Medan Rakyat•Majalah Raya

•Matahari Islam

•Persatuan

•Pelita Islam

•Moslem Reveil

•Suluh Islam

•Dewan Islam

•Pedoman Masyarakat

•Panji Islam

•Pedoman Islam

•Panji Masyarakat•Kiblat

•Harmonis

•Suara Masjid

•Media Dakwah

•Salam

•Estafet

•Tabloid Jum’at

•Mercu Suar

•Lembaga

•Nusa Putera

•Duta Masyarakat

•Abadi

•Al-Jihad

•Pelita

•Risalah Islamiah

•Suara Hidayatullah

•Mimbar Ulama

•Amanah

•Sabili

•Hidayah

•OASE-ICMI

•Hikmah

•Republika

•dll

Sumber: Diolah dari Romli (2003); Kasman (2004); dan Malik (1984)

Saat ini umat Islam di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dihadapkan pada sebuah dilema yang pelik berkaitan dengan kurangnya media massa yang memadai untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai keislaman. Konsekuensi dari kondisi ini tentu tidak hanya kurang tersalurkannya aspirasi umat, tetapi umat Islam sebagaimana dikatakan Kasman (2004: 5), hanya menjadi konsumen pasif bagi media massa non-Islam lain yang kerap memberikan informasi yang tidak relevan dan kontraproduktif bagi pemberdayaan umat.

Agar mampu bersaing dengan pers umum yang sangat beriorientasi komersial (comercial oriented), wartawan Islam sudah saatnya harus berani berhijrah menjawab berbagai tantangan. Di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Jurnalis Islam harus menunjukkan ahlak sebagai pribadi muslim yang mendalamai dan menjalankan ajaran agama Islam secara kaffah; (2) Jurnalis Islam harus kritis terhadap pengaruh Barat; (3) Jurnalis Islam harus populis sehingga dapat “diterima” oleh umat Islam; (4) Jurnalis Islam harus mampu mengembangkan khazanah intelektual Islam; (5) Jurnalis Islam harus mampu mempersatukan kelompok-kelompok umat. Semua bekal ini dapat diberikan sejak calon-calon jurnalis duduk di bangku kuliah.

 

Penutup

Jurnalistik Islami adalah Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis dan pengelola media yang berpredikat muslim berkewajiban menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi dalam profesinya. Baik yang bekerja pada media massa umum maupun media massa Islam. Di sisi lain dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap muslim .

Jurnalisme Dakwah menjadi mutlak dikenalkan sejak dini dalam dunia pendidikan komunikasi dan jurnalistik mengingat mahasiswa Ilmu Komunikasi adalah calon-calon jurnalis dan praktisi komunikasi di masa mendatang, sehingga jika nilai-nilai keislaman terpancar dari ruh para jurnalis dan pengelola media, niscaya tidak akan bermunculan kemunkaran berkedok aktivitas jurnalistik.


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.

Tulisan ini dimuat di Majalah Al-Islamiyah, Nomor 31 Tahun XIV, 2007.