Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Media massa memiliki keterbatasan dalam menyajikan seluruh realitas sosial sehingga ada proses seleksi saat para editor sebagai gatekeeper memilih berita-berita mana saja yang akan dimuat atau tidak. Pemilihan ini jelas sangat subjektif dan bergantung pada misi, visi, nilai, atau ideologi yang ingin disampaikan media massa. Ketika media menyelekasi pemuatan berita, media itu telah berpihak kepada suatu nilai. Dalam konteks ini, media  akan berada dalam tiga kemungkinan, yaitu apakah media cenderung berafeksi positif, netral, atau negatif. Keberpihakan yang paling mendasar terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (unfavourable).

Kasus sengketa wilayah antara Indonesia dengan Malaysia atas wilayah Ambalat beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 2005 menjadi contoh sempurna bagaimana wacana keberpihakan media di Indonesia dalam memberitakan konflik politik antarnegara. Bumbu-bumbu nasionalisme dan patriotisme memenuhi ruang-ruang berita media Indonesia. Setelah kasus Ambalat, memanasnya hubungan politik Indonesia-Malaysia kembali terjadi beberapa kali karena berbagai sebab. Namun, konflik tersebut juga cepat menguap seiring dengan bergantinya isu-isu seksi lainnya yang menggeser perhatian media.

Sengketa Ambalat di Media

Garis depan perbatasan Indonesia dan Malaysia, yaitu wilayah perairan seluas lapangan sepakbola bernama Karang Unarang, menjadi objek tindakan saling klaim oleh masing-masing negara. Indonesia mengatakan dengan tegas bahwa wilayah tersebut– juga Ambalat–merupakan bagian dari kepulauan Indonesia, berdasarkan peta warisan kolonial. Malaysia juga tak mau kalah, dengan mengatakan bahwa peta tersebut sudah tidak up to date, dan yang lebih aktual adalah peta versi baru buatan Inggris. Dengan patokan batas maritim tersebut, Ambalat pun dianggap sebagai bagian dari wilayah Malaysia (TEMPO, 20 Maret 2005, hal. 28).

Munculnya kasus Ambalat ini memancing emosi bangsa Indonesia bahwa kedaulatan negara bukan hanya urusan negara. Berbagai aksi menentang Malaysia kian ramai digelar. Suasana panas semakin menjadi karena di sejumlah kota di Indonesia mendadak berjangkit sentimen anti-Malaysia. Sejumlah posko ”Ganyang Malaysia” berdiri di berbagai daerah, bahkan dengan mengusung yel-yel rela mati untuk Indonesia, jika memang perang militer harus terjadi.

Di satu sisi, bangkitnya semangat nasionalisme dalam diri masyarakat Indonesia, sedikit banyak, dipengaruhi oleh hasil pemberitaan media. Lazimnya ketika negara sedang dilanda konflik bilateral, apalagi yang menyangkut dengan kedaulatan negara masing-masing, seluruh elemen warganegara tergerak untuk membangkitkan semangat kebangsaannya. Begitu pula dengan para pelaku media. Perasaan memiliki (sense of belonging) bisa menjadi faktor yang cukup memengaruhi cara para jurnalis memaknai sebuah peristiwa, untuk kemudian merekonstruksikannya dalam bentuk berita.

Ada semacam dilema dalam diri jurnalis Indonesia. Jika begitu saja membela negara dan tidak memberikan berita dengan berimbang, sama saja mereka mengkhianati konsepsi keadilan dan keseimbangan berita dalam jurnalisme profesional yang sudah dianut sekian lama. Sementara jika tidak, ada semacam rasa bersalah karena dianggap tidak setia dan loyal pada negara. Ihwal inilah yang memengaruhi pegiat media dalam membentuk wacana dan opini publik ketika melakukan pemberitaan.

Ditambah lagi dengan konteks historis Indonesia yang pernah berkonflik dengan Malaysia, dan gerakan anti-Malaysia juga lahir dengan nama yang sama. Kasus Ambalat seakan membuka memori warga kedua negara bahwa sebelumnya mereka pernah berseteru dan menimbulkan sentimen-sentimen sejarah.

Konteks historis ini hanya satu dari sekian banyak faktor, yang membuat pelaku media di Indonesia menambahkan bumbu-bumbu patriotisme ke dalam beritanya. Maka tak heran, jika istilah-istilah yang bisa menimbulkan sebuah opini bahwa ”Malaysia adalah musuh”, bertebaran di ruang-ruang berita media massa cetak. Sebut saja TEMPO (edisi 14-20 Maret 2005, hal.28) yang menuliskan ”…kapal Malaysia yang suka memancing geram.”, atau Suara Merdeka (edisi 14 Maret 2005) yang menulis “…Malaysia sebagai negara tetangga yang mulai menggerogoti keutuhan wilayah Republik Indonesia, terutama di Ambalat.” (cetak tebal oleh penulis). Hal ini cukup menegaskan adanya “campur tangan” rasa kebangsaan individu dalam menulis sebuah berita.

Meski seringkali terdapat faktor “dorongan”–secara langsung maupun tak langsung–dari pemerintah untuk membela negara atau posisi pemerintah yang tidak tegas dalam berdiplomasi, namun terlibatnya semangat nasionalisme seorang jurnalis sedikit banyak memengaruhi objektivitas dalam menulis berita. Alasan-alasan seperti menjaga citra bangsa di dunia internasional, atau dalam konteks untuk tetap menjaga kedaulatan negara, pembentukan opini tentu terjadi di masyarakat. Pada titik ini, media berhasil mengeluarkan kekuatannya dalam memengaruhi wacana yang berkembang di ruang publik.

Dalam kasus peliputan berita tentang Ambalat misalnya, terdapat indikasi adanya kandungan ideologi kebangsaan dalam penulisan berita. Sekilas praktik jurnalisme ini tidaklah menjadi masalah. Tapi, dengan praktik seperti itu, berita tidak lagi berada di tengah-tengah dan tidak berpihak. Malah, semakin lama wartawan ditengarai potensial untuk menyebarkan berita bohong, dengan tujuan menjaga citra bangsa.

Ideologi kebangsaan atau nasionalisme, adalah sebuah paham yang pada intinya mensyaratkan kecintaan yang besar pada tanah air, etnis, dan kelompok. Peter Alter (1989: 5)  menyebut bahwa nasionalisme juga seringkali memberikan harapan tentang kebebasan dan tatanan sosial yang adil tanpa diskriminasi. Sebab, satu sama lain anggota sebuah kelompok atau suku bangsa memiliki perasaan sama dan kesetaraan, termasuk di kalangan jurnalis.

Praktik jurnalisme yang demikian ini, sebenarnya pernah diterapkan oleh para jurnalis Amerika Serikat, khususnya pasca peristiwa pemboman gedung World Trade Center tanggal 11 September 2001. Ada sebuah ideologi patriotis yang terkandung dalam berita-berita yang dimunculkan. Saat itu, dalam pemberitaan invasi AS ke Irak, penggunaan kata ”kita” – yang menunjuk pada tentara AS – dan kata ”mereka” – yang merujuk pada tentara lawan sangat mudah ditemukan dalam berbagai berita di media AS. Selain karena perasaan senasib sepenanggungan dengan para korban, terdapat tekanan besar dari pemerintah, untuk menyajikan berita yang mendukung Amerika.

Negara seolah mewajibkan para pelaku media untuk membela negaranya. Jika tidak, beban psikologis sebagai pengkhianat bangsa akan membayangi begitu saja. Maka, bisa dibilang, fanatisme kebangsaan dalam rekonstruksi berita di media massa cetak terjadi karena berbagai faktor. Dan meskipun jurnalisme patriotik tersebut dimaksudkan untuk memberi pembelaan kepada negara, pada akhirnya prinsip-prinsip jurnalisme profesional menjadi ternegasikan. Selain karena perasaan senasib sepenanggungan dengan para korban, terdapat tekanan besar dari pemerintah, untuk menyajikan berita yang mendukung Amerika. Negara seolah mewajibkan para pelaku media untuk membela negaranya. Jika tidak, beban psikologis sebagai pengkhianat bangsa akan membayangi begitu saja. Maka, bisa dibilang, fanatisme kebangsaan dalam rekonstruksi berita di media massa cetak terjadi karena berbagai faktor. Dan meskipun jurnalisme patriotik tersebut dimaksudkan untuk memberi pembelaan kepada negara, pada akhirnya prinsip-prinsip jurnalisme profesional menjadi ternegasikan.

Menyoal Keberpihakan Media

Bagaimanapun kecilnya sebuah kontroversi, jika diliput dan diberitakan oleh massa akan berubah menjadi konflik yang lebih besar. Paling tidak keberadaannya akan memiliki legitimasi. Demikian ungkap Tichenor, dkk., dalam bukunya Community Conflict and the Press (1980). Tanpa media massa, konflik akan menjadi berita kecil yang terbatas daya jangkaunya. Lebih lanjut Tichenor menilai, efek psikologis pemberitaan konflik jauh melebihi apa yang bisa dicapai oleh konflik itu sendiri. Media menjadi sarana percepatan sebuah topik menuju kesadaran dan kepentingan masyarakat yang lebih luas (Tichenor, dkk., 1980: 119).

Pemberitaan konflik melalui media selalu bersinggungan dengan dua sisi: mempertajam atau sebaliknya, mereduksi konflik. Dalam kaitan ini, setidaknya ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik. Pertama, media sebagai issue intensifier: media berposisi memunculkan konflik kemudian mempertajamnya. Dalam posisi ini, media mem-blow up realitas menjadi isu sehingga seluruh dimensi konflik menjadi transparan. Kedua,  media sebagai conflict diminisher, yakni menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis. Ketiga, media berfungsi sebagai pengarah konflik (conflict resolution), yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Lewat pemberitaan di media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap apriori yang semula terbentuk.

Melihat  isi sebuah media adalah melihat bagaimana pembentukan wacana sosial di dalamnya, maka sama saja dengan melihat bagaimana media merepresentasikan dunia ini, melalui simbol-simbol apa media menyebarluaskan sebuah wacana kepada masyarakat, serta hubungan–hubungan apa yang terbentuk. Itu semua, direfleksikan dalam berita yang dihasilkan oleh media tersebut. Proses pembentukan wacana oleh media, ternyata juga dipengaruhi oleh pihak-pihak yang “memegang” media itu sendiri. Pemahaman ini berlandaskan pada pandangan paradigma kritis. Everett M. Rogers (dalam Eriyanto, 2001: 23) menyebutkan bahwa dalam paradigma ini media dipandang sebagai entitas yang tidak bebas nilai, melainkan sangat rentan akan penguasan oleh pihak dominan, yang dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda).

Memahami berita, sama saja dengan memahami sebuah produk teks. Ketika memahami teks ini, audiens dapat melihat bagaimana realitas empirik ditampilkan oleh berita. Perlu diingat, bahwa berita, adalah sebuah wacana  yang sengaja dibangun oleh media. Ketika menyajikan sebuah berita, media dipengaruhi oleh seperangkat nilai dan ideologi yang dianut, sehingga media memiliki tendensi-tendensi tertentu, yang pada akhirnya disebarluaskan kepada publik.

Paradigma kritis memandang berita tidak hanya serangkaian kalimat dan serentetan paragraf dalam teks, melainkan berita sesungguhnya diliputi sejumlah variabel ketika diproduksi. Faktor-faktor itu adalah fakta, posisi media yang bersangkutan, posisi wartawan yang meliput beritanya, serta hasil liputan – yang berkorelasi kuat dengan kemampuan kognitif wartawan menerjemahkan sebuah peristiwa. Dan bahasa, yang menjadi media penyampaian pesan berita, merupakan representasi dari dunia nyata. Karenanya, peran bahasa juga sangat penting dalam pembentukan wacana itu sendiri.

Berita, yang notabene memiliki banyak dimensi wacana yang menarik untuk diteliti, harus dibaca dan dipahami dalam sebuah situasi sosial yang meliputi norma, nilai, tujuan, serta kepentingan bersama. Oleh karena itu, bagaimana sebuah berita dipahami harus selalu diletakkan dalam konteks sosial yang ada.

Menurut Aart van Zoest (1991, dalam Sobur, 2002: 60), sebuah teks tak pernah lepas dari ideologi. Ia juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Sebuah ideologi, menurut Eriyanto (2001: 13), adalah suatu konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Sebab, teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu Ini artinya, suatu berita sangat mungkin merepresentasikan ideologi yang diusung serta untuk memenuhi kepentingan berbagai pihak.

Lalu dengan melihat perbedaan dasar paradigma dan perspektif jurnalisme, bagaimana seharusnya wartawan bersikap dan berpihak dalam meliput dan memberitakan konflik? Dimulai dari kewajiban wartawan memahami dan mempraktikkan jurnalisme profesional dengan menepati prinsip objektivitas pemberitaan. Kemudian setelah standar dasar jurnalisme tersebut terpenuhi, wartawan hendaknya menerapkan jurnalisme damai dalam setiap pemberitaan konflik yang ditulisnya sehingga kontroversi tidak berlangsung berlarut-larut tanpa arah penyelesaian. Selanjutnya, agar berita yang disajikan kepada pembaca mampu mengungkap realitas konflik secara komprehensif, wartawan juga perlu bekerja kreatif dengan teknik peliputan ala jurnalisme investigasi. Sebagai titik puncak dari “perjalanan menentukan keberpihakan” ini, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus-kasus yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, jurnalis berkewajiban menerapkan jurnalisme publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Menurut konsepsi “baku” etika jurnalisme, dalam pemberitaan konflik, media yang diwakili oleh jurnalis dituntut berada dalam “situasi tengah” antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Beberapa pandangan meneguhkan bahwa tugas jurnalis yang utama adalah menjalankan profesi secara independen dengan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik. Jurnalis juga tidak boleh memihak salah satu pihak atau hanya menyuarakan pihak tertentu dan menafikan keberadaan pihak lain. Karena itu jurnalis tidak boleh membawa kepentingan salah satu pihak yang bertikai. Semua pihak memiliki hak yang sama atas akses informasi.

Pendek kata, peran ideal seorang jurnalis dalam memberitakan konflik adalah menjalankan tugas profesional. Saat bertugas, jurnalis memiliki komitmen untuk mencari berita dan menginformasikannya kepada pembaca sesuai standar teknis dan etika jurnalistik. Untuk memenuhi tuntutan profesionalisme itu, sekali lagi jurnalis harus selalu menjaga sikap netral, objektif, berimbang, akurat, dan benar sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak (Burns, 2002: 22-24).

Pandangan-pandangan normatif tentang “profesionalisme” wartawan kemudian dikritik oleh Kovach dan Rosenstiel (2004) dan Charity (1995). Kovach mengungkapkan, komitmen kepada warga (citizen) yang dimiliki jurnalis seharusnya lebih besar ketimbang egoisme profesional. Artinya, tugas utama seorang jurnalis adalah bertanggung jawab kepada kepentingan warga. Kesetiaan pada warga ini disebut Kovach sebagai independensi jurnalistik yang sesungguhnya (Kovach & Rosestiel, 2004: 59). Dalam ranah kesadaran moral yang lebih luas, jurnalis diharapkan memiliki kepekaan sosial sehingga mendorong terciptanya arah penyelesaian konflik melalui berita yang ditulisnya. Jurnalis bekerja tidak sekadar memberitakan tanpa memberi alternatif bagi penyelesaian persoalan yang terjadi di ruang publik (Charity, 1995). [Iwan Awaluddin Yusuf]


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) – Yogyakarta dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) – Yogyakarta.