Iwan Awaluddin Yusuf[1]

Walaupun emosi dapat meng“hidup”kan sebuah berita, aspek netralitas dan objektivitas pemberitaan menuntut sebuah penyajian berita yang dituturkan dengan logika rasional dan terkendali. Penonjolan emosi di dalam berita menjadikan objektivitas berita tergerus. Sebutlah contoh dua judul berita berikut: “Indonesia Menangisi Kekalahan Taufik Hidayat” atau “Pertahankan Ambalat, Ganyang Malaysia!”. Alih-alih menyampaikan fakta, judul berita di atas menonjolkan sisi emosional berkaitan dengan rasa nasionalisme atau patriotisme sesaat, bukan nalar jernih dan berpikir rasional sang jurnalis.

Emosi yang kita bahas kali ini dapat diartikan sebagai penonjolan aspek emosional (suka, benci, sedih, gembira, marah, putus asa, dan sebagainya) dibandingkan aspek logis rasional di dalam penyajian sebuah berita. Selain itu, ciri lain dari emosionalisme adalah pemberian tanda baca atau huruf tertentu seperti tanda seru [!], tanda tanya [?], titik tiga […], atau kombinasi ketiganya, serta penggunaan huruf tertentu secara rangkap dalam struktur kata yang semestinya tidak ditulis demikian. Contohnya  dapat dijumpai pada judul “Mana Tahannn…” (Merapi, 21 Agustus 2004) atau pada kalimat “…Petugas Polres Sleman menembaknya. Door! Dor! Si Maling Bandel ini dibedil kakinya sampek dlosor. Kapok ra! (Meteor, 10 Juli 2004).

Emosionalisme juga tampak dari adanya kontras, yakni menyandingkan dua fakta yang berbeda namun tidak berkaitan langsung dengan maksud menimbulkan efek ironis sehingga menambah kesan tertentu yang membangkitkan sisi emosional. Contohnya terlihat dari paragraf berikut.

Urusan nafsu emang cuma urusan burung. Nggak penting lagi, apa statusnya. Buktinya Saman pun tak mau ketinggalan jaman. Padahal, laki-laki 35 tahun ini ustadz. Tapi Saman tak bisa mengurus burungnya. Si burung keliaran tengah malam, nidurin istri tetangga.” (Lampu Merah, 20 Agustus 2008).

Pola-pola emosionalisme seringkali ditampilkan oleh suratkbar yang bisa dikategorikan sebagai ”koran kuning”. Nuansa emosi bahkan menjadi menu wajib dalam menyajikan berita. Sebutlah dua nama mainstream koran yang mewakili  genre koran kuning di Indonesia saat ini: Lampu Merah (LM, sekarang berganti nama menjadi Lampu Hijau) dan Pos Kota (PK).

Kita mulai dengan emosi yang ditampilkan Lampu Merah. Kesan pertama yang muncul ketika membaca Lampu Merah adalah luapan emosi judul beritanya. Emosionalisme yang ditampilkan dalam judul headline koran ini umumnya terlihat dari teknik penulisan dengan tanda baca tertentu yang semestinya tidak perlu digunakan. Bentuk-bentuk emosionalisme yang ditampilkan pada judul Lampu Merah antara lain dapat dilihat dalam contoh berikut.

(1)  Anak Durhaka, Nggak tahu Diri! Ibu lagi Tidur, Eh…Digamparin (LM, 21 Agustus 2008)

(2)  Ibu dan Anak, Nggak Akur Banget, Cekcok Mulu, Anak Dituduh Nuker Parfum Gondok Banget, Ibu Dipisau (LM, 11 Agustus 2008)

(3) Disuruh Mandi, Dandan Biar Cakep, Eh Males-Malesan. Diajak  Kondangan, Ogah, Bini Ngamuk, Suami Ditusuk (LM, 18 Agustus 2008)

Seperti halnya pada judul, emosionalisme dalam lead pemberitaan Lampu Merah juga sering ditampilkan dalam bentuk kalimat yang berisi luapan emosi, seperti hujatan, simpati, kerterkejutan, keprihatinan, atau makian terhadap peristiwa, situasi, dan karakterisasi pelaku maupun korban kejahatan. Contoh emosionalisme ini antara terlihat dalam lead berita Lampu Merah yang ditulis berikut ini:

(1)   Gafura (73 tahun) terus-terusan nangis, menahan sakit di tangannya. Selain sakit pada fisik, gafura juga sakit hati atas apa yang dilakukan Saidah (46 tahun); anak kandungnya. Gafura tidak tahan, karena sering dianiaya oleh Saidah. Karena tidak betah, Gafura; janda kelahiran Pakistan ini melapor ke Mapolres Jakarta Pusat. (LM, 21 Agustus 2008)

(2)   Dia boleh jago ngelurusin urat yang bengkok. Tapi uratnya sendiri, benar-benar nggak keurus. Buktinya saat urat burungnya tegang, si tukang pijet ini tak pilih-pilih lagi. Pelanggan pijetnya, yang sudah keriput, diembat juga. Malah, si nenek diperkosa setelah jadi mayat. Ya, kepala si nenek dibekap kantong kresek sampai mati. Lalu diperkosa! Hahh?” (LM, 5 Agustus 2008)

Dalam body berita, bentuk emosionalisme juga tampak dari paparan atau narasi yang mengungkapkan luapan emosi  wartawan. Contoh emosionalisme ini antara terlihat dalam body berita Lampu Merah yang ditulis sebagai berikut.

(1)   Sumartini atau biasa disapa Tini (29) ini jelas sedih, bagaimana tidak? Deni Kurniawan (19), suaminya ternyata selingkuh. Bahkan selingkuh dengan laki-laki”. Malah, karena malu kepergok, Deni pun membacoki Tini. Karuan, warga Desa Sutawinangun Gg. Tawekal Kabupaten Cirebon luka parah (LM, 16 Agustus 2008).

(2)   Ratusan warga itu mendatangi sekolahan Indah dan mencari Bahruddin. Emosi dan benci sepertinya sudah berkecamuk...Saat mau dievakuasi dari sekolahan, Bahruddin sempat menerima pukulan dari warga yang marah atas tindakannya. (LM, 6 Agustus 2008)

Secara umum, emosionalisme pada headline Lampu Merah muncul dalam bentuk pola-pola sintaksis yang khas berupa kata, frasa, dan kalimat. Kata yang dipilih untuk merepresentasikan emosionalisme antara lain:

1. Reaksi warga melihat peristiwa kriminalitas:

“heboh”, “geger”, “riuh”, “gempar”, “dikagetkan”

2. Kata penghubung:

“lucunya”, “anehnya”, “uniknya”, “karuan”, “parahnya”

3. Kata seru:

“hahh”, “eh…”, “lho”, “dah”, “ya”, “lah”.

4. Penggunaan kata yang memberi penekanan atau penyangatan (superlative):

“cuma”, “banget”, “bahkan”, “benar-benar”, “parah”, “berkecamuk”

5. Penggunaan kata-kata yang menonjolkan sisi emosi pelaku/aktor peristiwa:

“malu”, “marah”, “ngamuk”, “kalap”, “sedih”, “kesal”, “sesal”, “trauma”, “menangis”, “merintih”, “cuek”, “ngelunjak”, “gondok”, “biadab”

Sedangkan frasa yang digunakan Lampu Merah untuk menampilkan emosionalisme antara lain: “sudah tidak tahan”, “anak durhaka”, “jelas sedih”, “pastinya kecewa”, “hanya bisa menangis”, “tidak peduli”, “penuh emosi”, “kesal bukan main”, “capek juga”, “kelakuan bejat”, “adem-adem aja”, dan “perampokan/pembunuhan/perkosaan biadab”. Seringkali frasa ditulis dengan memberi tanda baca, misalnya tanda seru, tanda tanya, atau tanda baca lainnya. Contoh: “nggak tahu diri!” (LM, 13 Agustus 2008).

Emosionalisme pada headline Lampu Merah yang ditulis dalam bentuk kalimat panjang umumnya berupa pola kalimat sebab-akibat atau pemberian keterangan tambahan (apositif) yang dikaitkan dengan konteks, situasi, atau setting kejadian, misalnya:

Warga pun mendatangi rumah Apan. Di sana mereka kaget. Sebab menurut Tika (45), istri Apan, malingnya justru si badut yang kabur tadi. Dia baru saja memperkosa Juwita, si bungsu berusia 7 tahun. Penuh emosi, warga pun kembali mengejar si badut……Melihat ini, si burung badut endut-endutan. Si badut langsung nyelonong masuk masuk kamar Juwita. Karena rumah sepi, si badut pun dengan santai memperkosa Juwita. (LM, 28 Agustus 2008)

Sementara emosionalisme pada headline Lampu Merah yang ditulis dalam bentuk kalimat pendek umumnya berupa pola kalimat sederhana yang diberi tanda baca tertentu guna membangkitkan emosi pembaca. Contoh: “Ini si pemerkosa mayat!” (LM, 5 Agustus 2008).

Tak jauh beda dengan Lampu Merah, pola-pola emosionalisme yang ditampilkan pada judul headline Pos Kota umumnya diperlihatkan dari pilihan kata, frasa, dan kalimat yang bernada emosional dalam bentuk hujatan, himbauan, ajakan, simpati, kerterkejutan, keprihatinan, atau makian terhadap peristiwa, situasi, dan karakterisasi pelaku maupun korban kejahatan. Bentuk-bentuk emosionalisme yang ditampilkan pada judul Pos Kota antara lain dapat dilihat dalam contoh berikut.

(1) Jelang Ramadhan Rakyat Sengsara (PK, 28 Agustus 2008)

(2) Tembak Mati Koruptor (PK, 9Agustus 2008)

(3) DKI Tak Gentar Digertak KPK (PK, 14 Agustus 2008)

Seperti halnya pada judul, emosionalisme dalam lead pemberitaan Pos Kota juga sering ditampilkan dalam bentuk kalimat yang berisi hujatan, simpati, kerterkejutan, keprihatinan, atau makian terhadap peristiwa, situasi, dan karakterisasi pelaku maupun korban kejahatan. Contoh emosionalisme ini antara terlihat dalam lead berita Pos Kota yang ditulis sebagai berikut.

(1)   Sadis. Itulah kata yang tepat untuk Teguh Santosa, 35, warga Dusun Kedaung Rejo, Kecamatan Wonopringgo, Pekalongan. Ayah durjana ini tak sekadar tega mencekik anak kandungnya, Amat Bahar, 6, tapi setelah itu leher anak diikat dan digantung di atas pohon mangga depan rumah hingga tewas. (PK, 12 Agustus 2008)

(2)  Emosi warga Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Jombang, sudah tidak bisa dibendung. Jumat (1/8) pagi, puluhan warga mendatangi Kepala Dusin Waijo, Mahmud. Mereka keluarkan ultimatum agar orangtua Ryan diusir dari desa. (PK, 2 Agustus 2008)

(3)   Lengkap sudah penderitaan rakyat. Menjelang Ramadhan, kehidupannya sengsara karena minyak tanah menghilang, harga elpiji naik terus, harga sembako melambung tiada henti, dan cari duit makin susah. (PK, 28 Agustus 2008)

Dalam body berita, bentuk emosionalisme juga tampak dari paparan atau narasi yang mengungkapkan penonjolan emosi terhadap peristiwa, situasi, maupun karakterisasi pelaku maupun korban kejahatan. Contoh emosionalisme ini antara terlihat dalam body berita Pos Kota yang ditulis sebagai berikut.

(1)   Di kamar yang kumuh itu, petugas menemukan pemandangan yang menyayat hati. Puluhan cewek ABG berusia 13 hingga 16 tahun dalam kondisi mengenaskan. Wajah mereka pucat pasi. (PK, 15 Agustus 2008)

(2)  Kekesalan warga terutama warga Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelan, Jombang, terhadap Ryan, sang penjagal, sepertinya tak bisa dibendung lagi. Kata-kata umpatan bahkan sumpah serapah terus dilontarkan kepada Ryan. Mereka pun mengaitkan kasus Ryan dengan kehidupan keluarganya selama ini, khususnya kehidupan pribadi Ny.Sriatun” (PK, 1 Agustus 2008).

(3) Kebiadaban sang ayah terhadap murid Taman Kanak-Kanak (TK) Getas Pekalongan ini, pertama kali diketahui Kus, warga setempat, Senin (11/8) pukul 06:00. (PK, 12 Agustus 2008)

Secara umum, emosionalisme pada headline Pos Kota muncul dalam bentuk pola-pola sintaksis yang khas berupa kata, frasa, dan kalimat yang dipakai untuk menonjolkan sisi emosi pelaku/aktor peristiwa atau penilaian sifat seseorang. Kata-kata yang dipilih Pos Kota untuk merepresentasikan emosionalisme ditunjukkan dari penggunaan kata seperti “kejengkelan”, “kebiadaban”, “ketakutan”, “sadis”, “durjana”, “jahat”, “histeris”, “sengsara”, “ironis”, “tragis”, “kaget”, “kesal”, “lega”, “sedih”, “loyonya”, “kecewa”, “bingung”, “puas”, “takut”, “beruntung”, “shock”, “terpukul”, “prihatin”, “gempar”, dan “menyeramkan”.

Sedangkan frasa bernuansa emosional yang digunakan Pos Kota untuk menampilkan sensasionalisme antara lain: “menyambut gembira”, “menyayat hati”, “tangisan histeris”, “berteriak ketakutan”, “mengelus dada”, “tak tahu balas budi”, “janji tinggal janji”, “tak peduli”, “tak gentar”, “tidak menggertak”, “alibi jahat”, “tidak menggubris”, “kecewa berat”, “mengaku lega”, dan “sumpah serapah”.

Emosionalisme pada headline Pos Kota yang ditulis dalam bentuk kalimat panjang umumnya berupa pola kalimat sebab-akibat atau pemberian keterangan tambahan (apositif) yang dikaitkan dengan konteks, situasi, atau setting kejadian, misalnya:

(1)   Tewasnya Ahmad membuat Ny. Siti komariah, 52, sang istri pingsan. Hingga Minggu malam. Ibu satu anak ini terlihat shock meratapi kematian suaminya. Begitu juga dengan anaknya, Komaruddin, 17, mengaku sangat terpukul karena kehilangan orang yang dikasihi. (PK, 18 Agustus 2008)

(2)   Loyonya badan penyelenggaraan Transjakarta belakangan ini, justru berakibat menyeramkan lantaran sering terjadi kecelakaan menelan korban jiwa. (PK, 11 Agustus 2008).

Sementara emosionalisme pada headline Pos Kota yang ditulis dalam bentuk kalimat pendek umumnya berupa kalimat perintah, namun tidak disertai tanda baca. Contoh: “Tembak Mati Koruptor” (PK, 9Agustus 2008), “Awas, Bulan Puasa Maling Merajalela” (PK, 30 Agustus 2008), “Stop Pungutan di Sekolah” (PK, 16 Agustus 2008).


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Yogyakarta.